MUNGKID, Koran Magelang – Sampah yang menumpuk dan berserakan di kawasan destinasi pariwisata super prioritas (DPSP), tentu akan membuat citra Candi Borobudur perlahan menurun. Pasalnya, setelah pemerintah pusat melalui Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) memasang kotak sampah, masyarakat menjadi lebih leluasa untuk membuangnya.
Sejak tempat pembuangan sampah akhir (TPSA) di Desa Pasuruhan, Kecamatan Mertoyudan hanya menerima sampah residu pada Januari 2022 lalu, masyarakat justru membuang sampah di sembarang tempat, seperti di tepi-tepi jalan. Padahal, Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kabupaten Magelang secara masif melakukan sosialisasi terkait pemilahan sampah dari rumah. Namun, hal itu tidaklah mudah.
Terlebih kini ada pengadaan kotak sampah di kawasan Candi Borobudur dan Candi Mendut yang berjumlah sekitar seribu kotak. Satu titik berisi tiga kotak yang khusus untuk sampah organik, plastik dan kaleng, serta kertas. Hal itu sedikit banyak menambah pekerjaan DLH untuk mengatasi sampah-sampah tersebut setiap harinya.
Kepala DLH Kabupaten Magelang Sarifudin mengaku, sempat melayangkan protes kepada Kementerian PUPR saat rapat secara virtual. Agar ditinjau ulang kebijakan pengadaan kotak sampah di kawasan Candi Borobudur tersebut. Tapi, justru tidak ada koordinasi terkait pemasangan kotak sampah itu.
Protes tersebut, kata dia, mengingat kondisi sampah di Kabupaten Magelang yang terbilang kritis dan melebihi kapasitas. “Saya sempat agak marah juga. Akhirnya dari Kementerian PUPR turun, kami minta dicabut. Kondisi sampah kami juga seperti ini, jangan menambah beban kami,” keluhnya saat ditemui di kantornya, Selasa (21/6).
Sarifudin secara tegas meminta agar semua kotak-kotak sampah itu diambil. Karena menurutnya, pengadaan tersebut kontradiktif dengan kebijakan DLH Kabupaten Magelang. Padahal, saat itu DLH menutup TPSA agar tidak ada tumpukan sampah. “Tapi, di Borobudur malah ada pengadaan kotak seperti itu,” sambungnya.
Bahkan, lanjut dia, tidak ada komunikasi antara Kementerian PUPR dengan DLH Kabupaten Magelang. Tiba-tiba dipasang di tepi-tepi jalan. Hingga saat ini pun, belum ada penyerahan secara resmi kotak-kotak sampah itu kepada Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Magelang. Mau tidak mau, DLH yang turun tangan mengambil sampah-sampah itu.
Padahal, DLH juga menjaga tempat pembuangan sampah sementara (TPSS) di beberapa lokasi selama 24 jam agar masyarakat tidak serta-merta membuang sampah sembarangan. Begitu tahu ada kotak sampah, masyarakat beralih membuangnya di sana. Hingga membuat kotak sampah penuh hingga berserakan.
Sarifudin juga tidak menyalahkan masyarakat yang membuang sampah di kawasan Candi Borobudur. Kemungkinan asumsi dari Kementerian PUPR, jika ada kotak sampah, permasalahan akan terselesaikan. Justru tidak. “Ketika di situ ada kotak sampah, masyarakat tahunya pemerintah daerah yang menyediakan. Itu kan jadi beban kami. Mau tidak mau, setiap pagi kami yang ngambilin,” tegasnya.
Semestinya, kata dia, ada koordinasi dengan DLH dan edukasi kepada masyarakat terlebih dahulu, terutama terkait pemilahan sampah. Selain itu, di dalam undang-undang, semua fasilitas umum seharusnya menyediakan lahan untuk pengolahan sampah.
Sementara itu, seorang warga Borobudur Sucoro, 71, mengatakan, pemasangan kotak sampah itu sebetulnya kurang koordinasi. Begitu pula dengan listrik, perbaikan jalan, lorong, hingga trotoar yang menjadi proyek besar DPSP.
Semestinya harus ada rembuk antara masyarakat, pemerintah daerah, dan pemerintah pusat. “Sampai sekarang saya belum pernah tahu siapa yang bertanggungjawab terhadap sampah, padahal menimbulkan bau tidak sedap,” kata dia. (aya/bah/sat)