MAGELANG, Koran Magelang – Ismedi atau yang dikenal dengan nama Easting Medi tak pernah bermimpi menjadi seorang pelukis. Namun, masa lalu seakan menariknya untuk menekuni bidang itu. Dimana membuatnya semakin tertantang mengekspresikan imajinasinya lewat seni lukis.
NAILA NIHAYAH, Magelang, Radar Jogja
Bukan hal yang mustahil jika seorang pelukis berkarya dengan objek apapun. Justru, semakin rumit objeknya, semakin tertantang pula mereka. Bahkan, hanya dengan mengamati dan membangun imajinasi, mampu membuatnya seakan hidup. Terlebih jika ada keping-keping kenangan yang kembali tertata rapi.
Begitu pula dengan Easting Medi, 46, yang dikenal sebagai seorang pelukis spesialis patung kepala Sidharta Gautama atau Buddha Gautama. Bahkan, dia mampu menciptakan lukisan yang mendunia berkat ketekunannya melukis dengan objek yang sama.
Saat ditemui di studio yang berada di Dusun Tingal Wetan RT 04/RW 02 Desa Wanurejo, Kecamatan Borobudur, berhadapan dengan lukisan yang belum rampung. Tangannya nampak sibuk menggoreskan kuas berwarna boru di atas kanvas berukuran 50 x 40 centimeter di hadapannya. Lambat laun, goresan kuas dari cat berbahan empon-empon itu membentuk kepala Buddha yang menarik.
Dia bercerita, ada romantika cerita di masa kanak-kanak, tepatnya era 90-an yang menjadikannya tertarik untuk melukis kepala Buddha. Medi mengatakan, ada sebuah tradisi di masa kecilnya saat merayakan Lebaran. Dia kerap merayakannya dengan naik ke candi peninggalan Dinasti Syailendra itu.
Usia beranjangsana ke rumah tetangga sekitar, dia bersama keluarga dan tetangganya lantas naik ke Candi Borobudur. Berjalan kaki ramai-ramai. Dulu, kata dia, belum ada pagar besi yang mengelilingi kompleks Candi Borobudur. Jalannya pun masih berupa bebatuan dan tanah. Bahkan, dia mengaku, untuk sampai ke candi, harus melewati semak belukar.
Setelah berkeliling candi, Medi beristirahat di bawah pohon besar sebelah selatan candi dengan menikmati segarnya udara. “Kalau belum naik candi (Borobudur, red), belum Lebaran,” paparnya sata ditemui di studionya, kemarin (4/7).
Saat itu, dia merasakan ketenangan dan kedamaian setelah mengamati relief dan stupa candi. Bahkan, dia mengaku, paling suka jika mengamati patung kepala Buddha. Dia merasa tertarik dengan patung wajah sang Buddha. Kendati dipahat dengan batu yang keras, namun terlihat sangat lembut.
Bakat melukisnya diturunkan dari sang ayah. Mengamati gambar ayahnya, dia kerap menjajal untuk menggambar sebuah bangunan, maupun objek lain. Sehingga tak heran jika bakatnya patut diacungi jempol.
Dia mengaku, hanya suka menggambar. Tidak sedikitpun terlintas dalam benaknya menjadi seorang pelukis. Tapi, dia pernah mengenyam pendidikan informal, sekolah keramik di Jogjakarta. Hanya bertahan tiga tahun. Lantas, dia juga pernah membuat patung dari keramik. Hal itu juga tidak bertahan lama. Hingga akhirnya memutuskan untuk kembali ke masa kanak-kanak dengan melukis.
Dia memulai karirnya menjadi pelukis sejak 2000-an. Kemudian, mulai bergabung dengan komunitas seni pada 2003. Saat itu, dia melukis relief candi, stupa, hingga pemandangan-pemandangan tertentu. Dia mulai konsentrasi pada lukisan kepala Buddha pada 2012 hingga sekarang.
Ketekunannya itu mengantarkan Medi mulai dikenal oleh turis mancanegara. Mereka tak segan membeli lukisan kepala Buddha miliknya. Biasanya, lukisan milik Medi, akan diletakkan di sebuah galeri. Ketika ada turis yang menginap di sekitar Candi Borobudur, mereka akan menyempatkan diri melihat lukisan di galeri tersebut. Saat tertarik, barulah mereka akan membelinya.
Lukisan-lukisan kepala Buddha miliknya kerap dibeli oleh orang luar negeri dari wilayah benua Eropa seperti, Swiss, Inggris, Belanda, Amerika, Perancis. Serta negara-negara di Asia seperti, India, Tiongkok, Singapura, dan Malaysia.
Menurutnya, orang Indonesia menganggap kepala Buddha sebagai budaya. Sementara orang luar negeri, kebanyakan menganggap kepala Buddha sebagai ciri khas Candi Borobudur. Karena patung-patung Buddha itu berbeda dengan yang ada di negara lain.
Saat pertama kali melukis, dia memang menggunakan cat air aquarel. Kemudian, beralih ke cat akrilik. Namun, ketika pandemi melanda pada 2020, dia kesulitan untuk mencari cat. Sehingga beralih memakai rempah-rempah atau empon-empon.
Keadaan itu yang memaksa Medi memanfaatkan empon-empon di sekitar rumahnya. Setidaknya kini ada sembilan empon-empon yang digunakan. Diantaranya kunyit, temulawak, dan temugiring untuk pewarna serta temuireng, kunyit putih, dlingo, bengle, hingga kencur untuk penambah aroma.
Dari sembilan empon-empon tersebut, kunyitlah yang memiliki pewarnaan paling kuat. Saat hendak digunakan melukis, empon-empon akan dikupas dan diparut. Lalu, parutan empon-empon tersebut diperas dan diambil airnya.
Cara itu ternyata kurang efektif. Setelah selesai digoreskan di atas kanvas, beberapa jam setelahnya justru tumbuh jamur. Warnanya juga pudar. Hal itu karena air empon-empon belum dimasak dan diolah. Percobaan pertama memang gagal. Medi terus mencoba berinovasi.
Medi akhirnya bertanya kepada beberapa perajin batik soal bahan alam yang digunakan untuk menjaga agar warnanya tidak pudar. Seperti kapur dan cuka. Dia memilih menggunakan cuka untuk campuran empon-emponnya.
Dalam satu bulan, dia biasa menghasilkan karya sebanyak tujuh lukisan. Ukuran 80 × 100 meter sebanyak dua buah dan ukuran 40 × 50 sentimeter sebanyak lima buah. “Kadang bosan kalau melukis ukuran kecil semua, jadi diselingi sama yang ukuran sedang,” jelasnya.
Dia menyebut, lukisan kepala Buddha ukuran 40×50 sentimeter, dibandrol dengan harga Rp 3,5 juta untuk wisatawan lokal dan Rp 7 juta untuk mancanegara.
Sedangkan ukuran 80×100 sentimeter dijual dengan harga Rp 7 juta untuk wisatawan lokal dan mancanegara Rp 14 juta. Lalu, ukuran 150×200 sentimeter dijual dengan harga Rp 30 juta.
Dia berkeinginan untuk memiliki sebuah ruangan untuk memajang karya-karyanya. Lantaran dia menilai, studio yang digunakannya sekarang terkesan kurang layak jika ada wisatawan yang berkunjung. Selain itu, dia juga ingin melaksanakan pameran di luar negeri, utamanya di Singapura. (bah/sat)