JOGJA – Pemilu 2024 kian dekat. Tokoh-tokoh yang disebut akan maju dalam pemilihan presiden 2024 juga kian banyak yang muncul. Masyarakat diminta selektif dalam menentukan calon pemimpin Indonesia. Di antaranya bukan hanya berdasarkan iming-iming amplop yang diberikan.
“Kalau kita memilih hanya berdasarkan amplop Rp 50.000, pemimpin seperti apa yang kita harapkan, pemimpin apa?,” kata Pengasuh Pondok Pesantren Raudhotut Tholibin Rembang KH Ahmad Mustofa Bisri atau Gus Mus dalam dialog kebangsaan Memilih Pemimpin Bersih dan Tangguh 2024″ di Universitas Alma Ata Jogja, Senin (18/7). Selain Gus Mus hadir pula sebagai pembicara Ketua Dewan Pers Prof Azyumardi Azra.
Gus Mus mengatakan, dialog kebangsaan yang dilakukan Universitas Alma Ata (UAA) ini menjadi sebuah ikhtiar bersama untuk mencari pemimpin masa depan Indonesia. Dia pun menyebut pemimpin Indonesia yang ideal adalah yang seperti Nabi Muhammad SAW. Yaitu yang diikuti oleh masyarakat bukan karena ditakuti tapi karena dicintai. Gus Mus juga mengingatkan, presiden Indonesia terpilih nantinya adalah hal pprerogatif Tuhan. “Jadi meski cebong kampret bersatu, kalau Allah tidak menghendaki ya tidak akan terjadi,” tuturnya.
Di hadapan Azyumardi, yang merupakan Ketua Dewan Pers, Gus Mus juga menyentil peran media massa. Menurut tokoh NU itu, media massa memiliki peran sebagai pembentuk opini. Dia membandingkan peran media massa saat ini seperti seperti penyair Arab zaman jahiliyah Umrul Qais. Gus Mus mengatakan, kalau Umrul Qais mensyairkan sesuatu, maka semua orang Arab pada waktu itu juga mengikutinya. “Apa yang dipuji pers akan dipuja masyarakat, begitu pula sebaliknya,” katanya.
Prof Azyumardi Azra sendiri dalam paparannya menyatakan, juga meminta Pers, terutama media mainstream untuk menjaga kohesi sosial integrasi bangsa. Diakuinya, banyak pemberitaan yang tersebar berisi hasutan-hasutan yang bisa memecah belah bangsa. Tapi dia menyebut, hal itu bukan dilakukan media mainstream, tapi media abal-abal. Yang tidak diketahui siapa penulisnya, editornya hingga alamatnya. “Kalau media mainstream saya kira harus turut menjaga persatuan bangsa melalui pemberitaannya,” kata dia.
Prof Azyumardi sendiri meyakini, potensi perpecahan dalam pemilu 2024, terutama saat pilpres, tidak akan sebesar saat pilpres 2019 lalu. Yang hanya memunculkan dua kubu. Apalagi, tambah dia, jika Mahkamah Konstitusi menyetujui judicial review ke-22 Presidential treshold, yang mengubah ambang batas pencalonan dari 20 persen menjadi 10 persen atau lima persen. Akan lebih banyak calon presiden yang muncul.
Yang justru patut diwaspadai, lanjut dia, terkait pilkada, apalagi 2022-2023 nanti ada lebih dari separo kepala daerah yang diganti. Permasalahan yang muncul adalah penjabat kepala daerah yang dipaksakan menjabat meski melanggar aturan. Dia mencontohkan untuk penjabat Gubernur Aceh, ada jenderal aktif yang dalam hitungan hari diproses menjadi sipil supaya bisa menjadi penjabat gubernur. “Kemarin di Kabupaten Seram Barat juga, potensi pelanggaran aturan malah terjadi dalam pengangkatan penjabat kepala daerah,” tuturnya. (pra)