SLEMAN – Ibu rumah tangga (IRT) kembali mengeluhkan biaya pengeluaran kebutuhan pangan harian yang membengkak. Hal ini karena harga kebutuhan pokok (bapok) di pasaran yang masih tinggi.
Tidak hanya daging, harga sayuran pun ikut melonjak. Meski hanya naik Rp 1.000 sampai Rp 2.000 dari harga normal, hal itu pun tetap terasa berat. Misalnya saja sawi. Jika normalnya Rp 3.000 sampai RP 4.000, kini harganya mencapai Rp 5.750 per kilogram.
Begitu pula dengan kacang panjang yang menyentuh Rp 6.500 per kilogram. Kentang Rp 13 ribu, kubis berkisar Rp 13.500, serta wortel Rp 13.125 per kilogramnya. Ditambah bumbu dapur yang harganya relatif masih tinggi sejak mendekati Idhul Adha. “Hampir semua harga melonjak. Sayuran, daging, telur bahkan tempe tahu pun awet, relatif tinggi,” keluh Yantini, warga Mlati, Sleman Minggu(17/7).
“Yang nggak naik hanya beras. Sekitar Rp 10 ribu sampai Rp 12 ribu per kilogram,” tambahnya.
Yanti biasanya merogoh kocek Rp 20 ribu sampai Rp 30 ribu untuk belanja keperluan dapur setiap hari. Namun kini, baginya Rp 50 ribu tiada artinya. “Mau hemat bagaimana, semua mahal sementara upah minimum regional (UMR) nggak naik,” ungkap pekerja buruh pabrik ini.
Keluhan senada disampaikan Karunia, 37, warga Kota Jogja. Ibu rumah tangga yang setiap harinya berjualan makanan dan jajanan pagi ini mengaku sudah tiga pekan, pengeluaran produksi pembelian bahan pokoknya meningkat. Sekitar 20 persen. Jika biasanya dia hanya mengahabiskan Rp 200 ribu, kini menjadi Rp 240 ribu.
Menurutnya, kebutuhan pokok yang paling terasa peningkatan harganya adalah bumbu dapur. Seperti cabai rawit, bawang putih, bawang merah, dan telur. “Telur naik Rp 28 ribu dari normalnya sekitar Rp 24 ribu per kilogram. Ditambah harga cabai rawit hampir sebulan relatif masih tinggi sekitar Rp 70 ribu,” rincinya.
“Modalnya naik, mau nggak mau harga jualan ikut naik, ada juga yang ngecilin porsi,” sambungnya.
Sementara itu, Indriya Setyawan, 37, penjual daging ayam di Pasar Sleman menuturkan, naiknya harga pasaran disebabkan faktor meningkatnya permintaan. Sebagaimana dicontohkan, permintaan daging ayam yang meningkat. Jika semula 6-8 kuintal per hari, saat ini permintaannya mencapai 9 kuintal hingga 1 ton. Hal ini karena banyaknya hajatan selama bulan Besar, serta adanya kegiatan perkumpulan yang semakin masif. “Kalau harga normal daging ayam Rp 34 ribu menjadi Rp 38 ribu per kilogram,” sebutnya.
Pakar Ilmu Ekonomi Universitas Islam Indonesia (UII) Jaka Sriyana menyebut, fenomena kenaikan harga bapok tidak lepas dari efek pandemi Covid-19. Dengan asumsi, kondisi permintaan yang ada cenderung meningkat. Sebagai bagian dari proses pemulihan ekonomi. Nyatanya, peningkatan tersebut tidak mampu diimbangi dengan penawaran atau penyediaan barang di pasar. Sehingga memunculkan kenaikan harga berbagai komoditas di pasar.
Pandemi, lanjutnya, juga telah membawa dampak pada penurunan produksi barang-barang input. Termasuk untuk input pendukung produksi pertanian. Seperti produksi pupuk dan bahan-bahan lain sebagai faktor produksi tanaman pangan. “Kenaikan bahan pangan dari produk pertanian selain disebabkan oleh faktor input juga disebabkan oleh iklim. Sejak awal 2022 telah memasuki musim penghujan sehingga petani cenderung untuk menanam padi sehingga hasil panen cabai mengalami penurunan,” bebernya.
Lebih lanjut dituturkan, faktor lain penyebab kenaikan harga pangan dan harga barang lain yang menjadikan kekhawatiran tingginya inflasi adalah kenaikan harga energi. Kenaikan harga gas dan solar sebagai dampak dari pencabutan subsidi misalnya. Hal ini memberikan efek mata rantai pada kenaikan harga-harga barang lain yang proses produksi dan distribusinya sangat bergantung pada kedua jenis energi tersebut.
Dia menjelaskan faktor pencabutan subsidi, berakar dari kondisi keuangan negara yang mulai tertekan oleh kenaikan belanja. Di lain sisi kenaikan penerimaan (pencabutan subsidi) belum bisa mengikuti secara seimbang. (mel/eno)