MAGELANG – Kebon Watugede yang terletak di Dusun Jetak, Desa Sidorejo, Kecamatan Bandongan kembali dibuka usai dua tahun vakum lantaran pandemi. Pasar yang sudah ada sejak 2018 ini, menawarkan suasana khas pedesaan, termasuk jajanan jadul yang jarang ditemui di kota-kota besar.
Untuk menuju lokasi, para pengunjung harus berjalan kaki sekitar dua kilometer dari area parkir. Namun, pengelola juga menyediakan ojek seharga Rp 3.000 per satu motor. Setelah sampai, pengunjung akan dimanjakan dengan suasana khas pedesaan. Lapak-lapak itu dibangun menggunakan bambu dan beratapkan daun kelapa kering. Tanah diratakan, para pedagang mengenakan kebaya jawa, dengan peralatan yang serba tradisional.
Koordinator Humas Pasar Kebon Watugede Imam Kurniawan menuturkan, sebelum adanya pandemi, roda perekonomian di pasar tersebut berjalan lancar. Bahkan, memberikan efek besar bagi pendapatan masyarakat Dusun Jetak. Selain untuk meningkatkan perekonomian, pasar ini dibuka guna mengangkat citra dusun.
Dulunya, tempat yang kini ditempati sebagai pasar hanyalah sebuah kebun bambu yang lebat. Kemudian, para pemuda yang tergabung dalam karang taruna menawarkan kepada masyarakat agar dimanfaatkan sebagai pasar. “Kami tawarkan kepada penduduk, jawaban mereka, ‘di situ siapa yang mau jualan dan yang mau beli? Wong ning tengah alas’, gitu,” ujarnya, Minggu (24/7).
Namun, para pemuda tetap gigih untuk mengubah kebun itu menjadi ladang perekonomian. Lantas, masyarakat setempat diajak untuk mengunjungi tempat wisata dan pasar tradisional, seperti Pasar Papringan di Temanggung, sekaligus sebagai media perkenalan. Karena memang konsepnya, area Kebon Watugede itu bakal diubah menjadi pasar tradisional.
Kemudian, tambah Imam, para pemuda bekerja keras mengubah kebun bambu itu menjadi sebuah pasar tradisional dengan konsep tanpa menggunakan bahan plastik. Bahkan, mereka membangun lapak-lapak kecil itu berdasarkan hasil swadaya sendiri.
Imam menjelaskan, area itu memang dinamakan Watugede, meskipun tidak ada watu gede atau batu besarnya. Menurut sesepuh setempat, area itu berkaitan dengan hal mistis. Konon katanya, bagi siapapun yang bisa menemukan atau mengambil watu gede, saat pemilihan kepala desa (pilkades) kemungkinan besar bakal terpilih.
Dia menambahkan, sebelum pandemi, para pedagang di pasar yang buka pada Minggu Pahing dan Legi ini berjumlah 56 orang. Namun sekarang berkurang menjadi 48 pedagang. Uang yang digunakan bertransaksipun menggunakan benggol atau uang kayu dengan nilai Rp 2.000 per satu benggol. Para pengunjung dapat menukarkannya terlebuh dahulu, sebelum mulai berjelajah kuliner.
Adapun kuliner yang ditawarkan beragam. Mulai dari makanan modern hingga tradisional, seperti gudeg, sate, soto, puthu, rambut nenek, wedang uwuh, wedang telang, jadah bakar, cenil, geblek, dan lain-lain. Serta ada pedagang yang menjual permainan anak tradisional, baik dari bambu maupun kayu, seperti otok-otok ayam, pletokan, angklung bambu, dan lain-lain.
Seorang pedagang dawet Musyarofah menyambut baik dengan dibukanya kembali Pasar Kebon Watugede. Dia berharap, pasar ini bakal terus dibuka dan bisa meningkatkan perekonomian masyarakat setempat. “Semoga pendapatan bisa normal kembali,” harapnya.
Sementara itu, seorang pengunjung dari Temanggung Karina Sagita mengapresiasi kembali dibukanya pasar tersebut. Menurutnya, dengan menawarkan suasana khas pedesaan, pengunjung serasa bakal dibawa kembali kehidupan masa lalu. “Unik ya, apalagi beli makanannya pakai uang benggol. Semoga pasar ini tetap melestarikan nilai-nilai tradisional,” ujarnya. (pra)