MUNGKID – Sebanyak 222 fotografer dari 22 negara unjuk gigi memamerkan karyanya dalam Pameran Fotografi Internasional 2022 bertajuk Bara-Api di Museum Haji Widayat, Kecamatan Mungkid, Kabupaten Magelang. Kegiatan ini menjadi cara para fotografer membantu bangkit dari pandemi Covid-19.
Kendati pandemi Covid-19 perlahan membaik, akibat yang ditimbulkan begitu besar. Ekonomi terpuruk, tatanan kacau, kemapanan berantakan, sistem terganggu, dan masyarakat dalam keadaan luka serta menderita. Seolah sakitnya belum reda, karena segalanya belum kembali seperti sediakala.
Teguh Santoso, panitia pameran ini menuturkan, sebagai negeri yang mengandalkan sektor wisata, adanya pandemi jelas-jelas menjadi pukulan berat. Sebab, jangankan bepergian, pandemi itu sempat memaksa orang jaga jarak, mendekam di rumah, dan menghindari kerumunan.
“Sehingga, kondisi itu jelas menghantam sektor wisata yang pada akhirnya merusak tatanan dan aktivitas ekonomi, hingga memperdalam luka dan derita,” katanya Sabtu (23/7).
Lantas, muncul pertanyaan soal apa yang dilakukan para fotografer untuk ikut berkontribusi melakukan social healing, recovering economy, and the spirit of life?. Maka, muncullah ide untuk menggelar pameran fotografi berskala internasional, agar gema dan efeknya juga lebih luas serta mendalam.
Teguh mengatakan, dipilihnya tema dan frasa “Bara Api” ini merepresentasikan ‘perkawinan agung’ antara Candi Borobudur dan Gunung Merapi. Sebab, objek yang ditangkap para fotografer dan dipamerkan adalah tentang Candi Borobudur dan Gunung Merapi dengan segala kisah, sudut, perspektif, dan sejarahnya.
Harapannya, promosi itu akan membuat masyarkat dunia yang sudah mulai bebas setelah pandemi mereda, kembali datang berwisata dan menikmati Candi Borobudur dan Gunung Merapi. Dengan demikian, diharapkan ekonomi akan bergerak lagi. Sebab, kehadiran wisatawan akan menggerakkan ekonomi kreatif, perhotelan, transportasi, kuliner, kerajinan, dan sebagainya.
Kata ‘Bara’ diambil dari nama lama Candi Borobudur yang salah satunya adalah Bara Beduhur yang berarti vihara di tempat yang tinggi. Sedangkan kata ‘Api’ diambil dari nama Gunung Merapi yang identik dengan api, karena selalu mengeluarkan lahar panas.
Sejumlah fotografer dari komunitas lensa makro juga ikut memamerkan bidikannya berupa burung-burung kecil yang berkembang di hutan Merapi dan Perbukitan Menoreh. “Dua ikon besar di Jawa Tengah dan DIJ ini menjadi tema pilihan, yakni Bara yang diambil dari nama Borobudur. Sedangkan Api diambil dari nama Gunung Merapi yang identik dengan api, karena mengeluarkan awan panas,” jelasnya.
Bahkan sisi kesakralan, misteri, sejarah, dan sejuta kisah tentang Candi Borobudur dan Gunung Merapi itulah yang menantang para fotografer untuk mengeksplorasi dan mengkreasi dalam karya visual fotografi. Pameran berlangsung satu bulan, 23 Juli hingga 23 Agustus.
Pameran ini memajang 222 karya milik fotografer dari berbagai negara. Selain dari Indonesia, juga dari luar negeri. Seperti Argentina, Filipina, Polandia, Afrika Selatan, Korea Selatan, Selandia Baru, Srilanka, Thailand, Turki, Vietnam, dan Amerika Serikat. Bahkan, ada dua galeri yang dipakai untuk memajang karya tersebut, yakni Galeri Hj Soewarni dan Museum H Widayat serta halaman kebun di depan Galeri Hj Soemini.
Dari 222 foto yang dipamerkan, beberapa di antaranya menggunakan media foto yang lebih besar dibandingkan pameran foto biasanya. Yakni ukuran 90×60 sentimeter. Sedangkan foto-foto yang dipamerkan di Museum Haji Widayat mempunyai ukuran lebih besar, yakni 1×1,5 meter.
Koordinator Kurator Pameran Risman Marah mengatakan, sebuah pameran fotografi akan berhasil jika membangkitkan inspirasi, imajinasi, edukasi, dan pencerahan. Itulah salah satu target yang diusahakan para panitia. Diharapkan pameran ini juga berkontribusi dalam membangkitkan semangat hidup, semangat berimajinasi, juga semangat berkreasi.
Pameran diikuti fotografer lintas generasi. Yakni fotografer tertua bernama Soedjai Kartasasmita, 96, asal Jakarta dan fotografer termuda Khaeru Khay, 15, asal Wonogiri. Dalam pameran ini, dipilih 25 foto terbaik sebagai apresiasi. Sehingga, pihaknya mendatangkan 20 kurator nasional maupun internasional. Seperti Darwis Triadi, Arbain Rambey, Don Hosman, Oscar Motuloh, Oei Hong Djien, dan lainnya.
Sementara itu, Direktur Museum H Widayat Purnomo Sidhi menyebut, selama pandemi memang tidak ada aktivitas di museum tersebut. Namun, pihaknya selalu berupaya untuk menjaga dan merawat yang ada di dalamnya. Dengan adanya pameran ini, justru membuatnya lebih bersemangat.
Tak ayal, dia menyambut baik dan juga mempersilakan pameran fotografi Bara-Api untuk ‘mengkudeta’ Museum H Widayat. “Pameran ini boleh menggunakan museum dan dua galeri yang kami punya. Bahkan kalau perlu seluruh areal seluas 11 ribu meter persegi boleh dipakai pameran,” ungkapnya.
Pelaksana Tugas (Plt) Direktur Utama Badan Otorita Borobudur Bisma Jatmika berharap, ke depan pameran ini tidak berhenti hanya kali ini saja, tapi dapat terus berlanjut. Hal itu bisa dikomunikasikan kembali sebagai satu atraksi event dan ambil bagian dari daya tarik untuk kawasan pariwisata Borobudur.
Menurutnya, pariwisata memberikan bounce back yang tergolong cepat, begitu pemerintah memberikan pelonggaran. Bahkan berdasarkan data yang diperoleh, pariwisata menjadi sesuatu yang direncanakan orang saat ini. Terutama dengan adanya pameran ini, tentu menjadi satu trigger yang cukup efektif untuk mengembalikan dan me-recovery sektor pariwisata. (pra/laz)