MAGELANG – Kendati tergolong klasik, tegel masih menjadi satu hal yang dicari para penikmatnya. Tak ayal, mereka rela merogoh kecok lebih besar ketimbang membeli keramik. Karena keberadaan tegel perlahan mulai jarang, Winarno tak gentar untuk tetap memproduksi. Bahkan, kini bisa mendulang kesuksesan lewat tegel tersebut.
Tumpukan tegel polos maupun motif memenuhi tempat produksi Win Art Solution. Ada beberapa pekerja yang tengah menggarap tegel. Proses pembuatannya ternyata tidak mudah. Ada banyak langkah yang harus dilakukan untuk menghasilkan tegel yang apik.
Jika ditarik mundur ke beberapa dekade lalu, tegel memang menjadi primadona untuk mempercantik lantai rumah. Munculnya lantai keramik dan granit yang lebih berkilau sempat menggeser popularitas tegel. Hingga banyak pabrik tegel tutup produksi.
Namun, kini tegel klasik kembali menjadi perbincangan. Meskipun eranya sudah berbeda. Bahkan, banyak orang yang melirik dan memburunya untuk desain eksterior dan interior rumah. Lantaran dinilai lebih eksotis dan membuat hunian cenderung terasa sejuk.
Hal itu membuat Winarno, pemilik Win Art Solution memanfaatkan peluang itu menjadi ladang bisnisnya. Dia merintis usahanya memang dari nol. Lantaran dirinya bukanlah seorang dengan latar pendidikan tinggi. Dia hanya seorang lulusan sekolah menengah atas (SMA). Sebab, kedua orang tuanya yang bekerja sebagai petani, tidak mampu membiayai pendidikannya.
Bahkan, dia sempat berjualan sayur-mayur di pasar. Hingga pada 1994 mulai memberanikan diri menjajal pekerjaan lain. Pekerjaan pertama yang dilakoninya yakni bekerja di rumah fotografi sebagai tukang foto keliling. Setelah dirasa cukup lama berkecimpung pada dunia itu, ia beralih ke perusahaan yang bergerak di bidang jasa penjualan cat dan alat-alat bangunan pada 2000-an.
Selepas itu, dia beralih bekerja pada jasa interior, pemasangan, dan wallpaper. Saat itu, banyak orang yang bertanya soal tempat yang menyediakan tegel klasik yang bermotif. Karena saat itu, sudah jarang pabrik yang memproduksinya.
Itulah yang menjadi titik awal Winarno berani mengambil peluang tersebut. Yang bergerak pada jasa pengecatan, pemasangan wallpaper, dan desain interior. Ternyata bisnis itu mendapatkan respons positif dari para pelanggannya. Hingga sekitar 2019, ia pun mengembangkan usahanya untuk memproduksi tegel klasik.
Menurutnya, tegel klasik mulai ditinggalkan oleh generasi sekarang. Padahal, kata dia, tegel merupakan khazanah budaya kekayaan Indonesia. “Dari situ saya mencoba bisnis itu karena ingin membangkitkan lagi tegel klasik di mata masyarakat,” paparnya saat ditemui di workshopnya, Desa Tamanagung, Muntilan, kemarin (1/8).
Tegel klasik miliknya mempunyai corak yang beragam. Mulai dari motif sidomukti, kawuh, keraton, batik, hingga motif abstrak. Tergantung permintaan dari pembeli maupun tren motif yang tengah naik daun. Juga mengikuti pangsa pasar. Bahkan, saat pandemi tengah merebak di hampir seluruh belahan dunia, Winarno juga mengabadikannya melalui tegel dengan motif korona.
Dia mengatakan, tegel memang memiliki pasar tersendiri. Berbeda dengan keramik yang dibuat oleh pabrik, tegel justru dibuat secara manual. Satu per satu. Itulah yang membedakan antara keramik dan tegel. “Sampai kapan pun, tegel akan tetap memiliki penggemar,” sebutnya.
Tegel klasik ini, kata dia, cocok dengan konsep rumah kuno, seperti joglo dan limasan. Bahkan peminat tegel klasik miliknya berasal dari kalangan para pejabat dan pesohor negeri. Mulai dari Prabowo Subianto, PT Mustika Ratu, Kapolres Mojokerjo, Kapolres Kupang, hingga Kapolri Jendral Listyo Sigit Prabowo.
Tak heran jika mereka menjadi pelanggan tetapnya. “Kalau Pak Prabowo memang penggemar klasik, rumahnya klasik dan kantornya juga. Waktu itu, ajudannya telepon saya cari tegel klasik untuk beliau,” tambahnya.
Selain mempromosikan tegelnya lewat WhatsApp dan Instagram, ia juga memanfaatkan TikTok untuk membuat konten penjualan. Bahkan, kata dia, ada perusahaan luar negeri yang menawarkan kerja sama dengan mengekspor tegel miliknya. Namun, lantaran prosesnya lama dan cenderung susah, dia enggan.
Di sisi lain, memproduksi tegel maupun barang interior lainnya bukan hanya sekadar bisnis. Melainkan juga ingin mempertahankan khazanah budaya yang sudah ditinggalkan. “Jadi, saya tidak muluk-muluk menjualnya sampai ke luar negeri,” bebernya.
Untuk tegel polos, dibanderol mulai harga Rp 125 ribu per meter persegi. Sementara untuk tegel motif mulai dari Rp 250 ribu per meter persegi dengan ukuran 20 x 20 sentimeter dan berisi 25 keping. Sedangkan yang berukuran 30 x 30 sentimeter hanya berisi 11 keping.
Dia hanya mempekerjakan beberapa karyawan saja. Namun, ketika ada permintaan dalam jumlah besar, dirinya akan meminta masyarakat sekitar untuk membantu. Dalam satu hari, tiap orang biaa menghasilkan tegel polos 10 meter persegi. Tapi, jika tegel motif, tiap orang hanya bisa menghasilkan 3 meter persegi karena pengerjaannya yang lama. (laz)