MUNGKID – Dua orang pegawai Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kabupaten Magelang yang ditetapkan sebagai tersangka kasus penggelapan dana operasional bahan bakar minyak (BBM), telah menjalani sidang putusan. Keduanya telah ditetapkan sebagai tersangka pada Rabu (3/11) lalu. Namun, saat penjatuhan vonis, putusan hakim ternyata berbeda dengan Jaksa Penuntut Umum (JPU) yang menuntut terdakwa harus membayar uang pengganti (UP) dari yang digelapkan.
Kedua terdakwa berinisial INS yang saat itu menjabat sebagai Kepala Unit Pelaksana Teknis (UPT) DLH dan satu lainnya berinisial B sebagai Kepala Subbagian Tata Usaha (TU) sekaligus kasir UPT DLH. Mereka terbukti melakukan tindak pidana korupsi dalam pengelolaan dana operasional BBM mobil sampah tahun anggaran 2020.
Saat menjalani sidang, keduanya menggunakan baju putih dan bawahan hitam, duduk di depan layar monitor sembari mendengarkan putusan. Usai hakim membacakan putusan, keduanya tampak menghampiri sanak keluarga di depan ruang sidang. Bahkan, INS langsung mendekap sang istri sembari menangis. Suasana pun menjadi haru.
Hakim Ketua Pengadilan Negeri Semarang A.A. PT NGR Rajendra menyatakan, terdakwa INS terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan yang ada padanya karena jabatan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.
Atas tindakannya, INS dijatuhi pidana penjara selama satu tahun delapan bulan, dikurangi selama terdakwa berada dalam tahanan sementara dan dengan perintah agar terdakwa tetap ditahan. Selain itu, juga dijatuhi pidana denda sebesar Rp 50 juta. Dengan ketentuan apabila denda tersebut tidak dibayar oleh terdakwa, maka terdakwa harus menjalani pidana kurungan selama tiga bulan. Begitu pula dengan terdakwa berinisial B.
JPU Kejari Kabupaten Magelang Novan Ariyanto menuturkan, putusan hakim berbeda dengan tuntutan JPU. Karena dalam tuntutan JPU, pihaknya membebankan uang pengganti terhadap terdakwa B senilai Rp 89.840.339. Karena total dana yang digelapkan berjumlah Rp 165.331.213. Lalu, telah dikembalikan oleh keduanya sejumlah Rp 75.490.874.
Jumlah itu berdasarkan hasil perhitungan kedua terdakwa. Berdasarkan keterangan Novan, hakim memberikan pertimbangan berdasarkan Pasal 18 UU Tipikor yang menyebut bahwa UP adalah yang dinikmati oleh terdakwa. “Hanya saja, hakim berbeda pendapat dalam memberikan keputusan,” ujarnya saat dikonfirmasi.
Novan mengatakan, uang tersebut memang disimpan di brankas dan kedua terdakwa mengaku hendak dimanfaatkan untuk membiayai kebutuhan lain di DLH. Dari pengakuannya, hakim lantas berpendapat bahwa tidak ada uang yang dinikmati secara khusus oleh keduanya, sehingga tidak ada UP.
Kendati demikian, JPU tetap meminta terdakwa mengembalikan sisa uang yang digelapkan. “Meskipun itu (uang, red) tidak dinikmati secara langsung, tapi menyimpan secara pribadi tetap bagian dari penguasaan dia. Jadi, kami tetap berpendapat harus ada UP,” tegasnya.
Dalam laporan anggaran di akhir 2020, memang anggaran dana sudah cocok dan tidak ada saldo yang tersisa. Tapi, faktanya masih ada saldo dana yang mengendap dan tidak dilaporkan oleh Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Magelang. Mereka menyimpannya dan mengaku bakal digunakan untuk membiayai penganggaran tahun depan. Padahal, rencana anggaran biaya (RAB) tahun 2021 sudah ada rinciannya.
Kepala Seksi Pidana Khusus (Kasi Pidsus) Kejari Kabupaten Magelang Christian Erry Wibowo menuturkan, kedua terdakwa pernah menghitung sendiri jumlah kerugiannya, yakni sebesar Rp 75.490.874 dan sudah disetorkan pada Mei 2021. Padahal, setelah dihitung kembali oleh Inspektorat, ternyata tidak sejumlah itu, tetapi lebih. “Ada Rp 165 juta lebih, jadi ada Rp 89 juta sekian yang belum dipertanggungjawabkan,” tuturnya.
Saat dimintai keterangan oleh jaksa pun, mereka berdalih uang tersebut digunakan untuk membeli BBM di awal tahun 2021. Dengan alasan, saat awal tahun, RAB belum cair. Namun, saat diperiksa ulang, RAB untuk BBM sudah dicairkan.
Erry menjelaskan, kasus ini bermula ketika Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) rutin menggelar audit keuangan di Pemkab Magelang. Saat dicek, ternyata ada nota-nota palsu. Ketika dikonfirmasi ke SPBU pun, nota itu bukan miliknya. Bahkan, jumlah nota palsu itu sekitar Rp 800 juta lebih.
Dari situlah BPK memberikan rekomendasi kepada Inspektorat agar segera menindaklanjutinya. Akhirnya, muncul angka Rp 165 juta. “Waktu itu, yang cair Rp 1,2 miliar, kalau dari versi sopir, hanya menerima Rp 1,090 miliar. Jadi, ada sisa sekitar Rp 165 juta, baru dikembalikan Rp 75 juta, kami ya menagih sisanya,” jelasnya.
Dari hasil sidang tuntutan, pihak hakim maupun JPU sepakat untuk memikirkan ulang selama tujuh hari guna mengkaji tuntutan yang diusulkan. JPU pun bakal mengonsep materi yang bakal digunakan dengan menggali fakta-fakta yang ada. “Apakah nanti kami terima putusan itu ataukah mau banding,” tambahnya.
Atas tindakannya, mereka dijerat Pasal 3 Jo Pasal 18 UU RI Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan UU RI Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP sebagaimana dalam Dakwaan Subsidiair. (aya/pra)