MAGELANG, – Lazimnya, buah sawo lokal memiliki ukuran sebesar kepalan tangan orang dewasa saja. Tapi, sawo hasil budi daya Moh Khoirul Saleh, 47, asal Salaman, Kabupaten Magelang ini berbeda. Sawo miliknya berukuran jumbo sebesar kepala manusia, yakni jenis Mamey Sapote.
Saat memasuki kawasan rumah milik Irul di Pondok Tani Dusun Kebonkliwon, Kebonrejo, Salaman, pekarangannya dipenuhi dengan pohon. Dari jenis kelengkeng, alpukat, anggur, hingga Mamey Sapote atau yang biasa disebut sawo raksasa.
Dia sukses membudidayakan berbagai macam tanaman. Namun, dibalik kesuksesannya, dia harus melewati beberapa rintangan. Gagal panen hingga sempat tertipu oleh pembeli.
Sebelum terjun ke dunia budi daya, Irul sudah mencari pekerjaan. Hingga lulus dari Fakultas Ekonomi, Universitas Muhammadiyah Magelang (Unimma) pada 2004, Irul sempat berjualan bawang merah dan beberapa tanaman. Kemudian, dia melihat tayangan di televisi ada seorang mahasiswa yang keluar dari kuliah karena fokus menggeluti usaha di bidang otomotif.
Melihat kegigihan mahasiswa tersebut, membuat Irul termotivasi untuk memanfaatkan peluang yang ada di desanya. “Saya melihat di sini itu banyak tanaman dan saat itu banyak masyarakat yang mengeluh karena penjualannya terbilang susah,” ingatnya saat ditemui Senin (15/8).
Pada sekitar 2011, dia mengunggah tanaman jualannya lewat online. Saat itu, tren penjualan secara online masih minim. Bahkan dianggap tabu oleh sebagian orang. Setelah kisaran enam bulan, jualannya baru laku sekali pada November 2021 dan dikirim ke Medan.
Setelah laku sekali, kata dia, menjadi pemicu semangatnya untuk tetap berjualan. Ternyata, usahanya membawa hasil. Satu minggu setelahnya, tiap satu hari, bisa mengirim sebanyak lima konsumen. “Dulu pertama pesen kelengkeng kisaran empat buah. Kemudian, srikaya, dan tanaman buah lain jumlahnya 10,” bebernya.
Waktu itu, dari 10 tanaman, dia mendapat uang Rp 400 ribu. Kendati hasilnya tidak seberapa besar, namun pendapatan itu justru semakin membuatnya terpacu. Melihat jualan Irul semakin laku keras, ada satu hingga dua orang yang ikut berjualan dengannya. Dua tahun berikutnya, mereka bisa memanen hasil untuk membeli motor. Lantas, banyak warga Salaman yang berbondong-bondong berjualan online.
Dia mengaku belajar secara autodidak karena diarahkan oleh konsumen. Saat itu, dia tengah berjualan tanaman. “Mereka tanya, ‘cara menanamnya seperti apa?’, jadi saya harus mencari teman yang paham soal tanaman,” lanjutnya.
Seperti kebanyakan pebisnis lainnya, dia juga pernah mengalami kesialan. Irul menjadi korban penipuan dari seorang temannya di Jepara. Lantaran dekat, temannya bercerita bahwa prospek tanaman sengon itu bagus. Tapi Irul tidak memiliki modal untuk membelinya.
Kemudian, temannya meminta bantuan modal berupa tanaman. Tak tanggung-tanggung, ada sekitar 15 ribu tanaman dengan harga senilai Rp 15 juta. Namun begitu tanaman itu sampai di Jepara, Irul hanya diberi ongkos kirim saja. “Sampai saat ini, barangnya tidak terbayar. Saya ke sana, malah kasihan dengan kondisinya. Jadi, saya ikhlaskan saja,” sebutnya.
Kemudian, dia mulai mengenal tanaman sawo jenis Mamey Sapote sejak 2012. Namun, Irul baru menanam sawo jenis ini sejak tujuh tahun yang lalu. Setiap pohon, memiliki masa panen masing-masing. Ada yang baru berbunga, berbuah kecil, agak besar, mendekati tua, dan siap panen. “Berbuahnya tidak bareng. Karena memang tidak mengenal musim,” ujarnya.
Selama ini, dia mengatakan, belum ada kendala yang signifikan. Terlebih, tanaman ini bersifat adaptif atau bisa ditanam di Indonesia. Baik di dataran rendah seperti di Semarang, dan dataran tinggi di Wonosobo.
Dia mengatakan, selain dia, ada juga seorang dokter asal Surabaya yang membudidayakan pohon ini untuk menangkal kanker. Karena sawo tersebut mengandung beta karoten. Sementara untuk di daerahnya, setiap rumah sudah mulai menanam, entah satu atau tiga pohon.
Irul menyebut, satu buah sawo bisa memiliki berat hingga dua kilogram. Dia memiliki sekitar 15 pohon sawo. Enam di antaranya ditanam di rumah dengan teknik sambung. Sedangkan sembilan lainnya ditanam di perkebunan. “Yang di kebun, kemarin saya tanam dari bijinya. Ternyata berbuahnya lama. Barulah sekitar lima atau enam tahun, sudah berbuah,” ujarnya.
Dulu, dia membeli tanaman itu dengan tinggi 50 sentimeter seharga Rp 500 ribu. Sedangkan tanaman sawo dengan teknik sambung jika dijual di pasaran kisaran Rp 750 ribu sampai Rp 1,5 juta.
Menurutnya, tanaman ini memiliki kategori eksotis atau memiliki daya tarik dan tergolong langka. Ketika nantinya ada suatu penelitian yang membahas kandungan sawo tersebut, tidak menutup kemungkinan akan menjadi suatu perkebunan yang menarik.
Dalam sekali panen, satu pohon bisa mendapat 100 buah. Rata-rata dijual Rp 100 ribu per buah, baik berukuran kecil maupun besar. Biasanya, Irul menjual sawo itu kepada para pehobi yang kerap mengambil bijinya untuk kemudian membudidayakannya kembali. Karena ketika satu biji sawo disemai dan tumbuh satu jengkal, rata-rata dijual dengan harga Rp 150 ribu.
Dia menyebut, untuk pengembangannya memang tergolong sulit. Begitu pula ketika dicangkok. Kebanyakan mudah mati. Paling gampang, kata dia, dari biji sawo itu dilakukan dengan sambung susu. Karena cenderung akan mudah berbuah.
Ketika sawo dibelah, warna dan tampilannya seperti buah pepaya. Rasanya pun cenderung mirip dengan ubi cilembu. Namun, aromanya menyengat, khas buah sawo. Tapi, ketika orang Indonesia memakannya, belum terasa familier.
Irul menuturkan, belum lama ini, dia berhasil memanen satu pohon dan mendapatkan sebanyak 125 buah sawo raksasa. “Dapat Rp 12 juta untuk beli sepeda motor second,” ujarnya.
Selain membudidayakan berbagai macam tanaman, dia juga aktif menggerakkan masyarakat yang dulunya pengangguran, kini menjadi satu ladang bisnisnya. Sehingga banyak pula menyerap tenaga kerja di desanya. (eno)