MUNGKID – Keberadaan pasar budaya di beberapa desa di Kecamatan Borobudur menjadi satu instalasi seni. Esensi kebudayaan yang melekat di masyarakat membuat mereka terus menggali potensi desa. Bahkan, tak hanya menawarkan aneka olahan tradisional, pasar ini juga ditunjang dengan potensi alamnya. Sehingga mendatangkan kesan tersendiri bagi pengunjung. Seperti halnya Pasar Tegalan di Desa Tegalarum, Kecamatan Borobudur ini.
Berbagai makanan tradisional, yang mulai jarang ditemui, melimpah ruah di Pasar Tegalan. Warga bisa mengenanng masa kecilnya dengan menyantap aneka jajanan tersebut. Baik generasi milenial maupun generasi Z pun bisa mencoba makanan tradisional.
Direktur Jenderal Kebudayaan, Kemendikbud Ristek Hilmar Farid mengapresiasi keberadaan pasar budaya di setiap desa. Bahkan, keberadaannya dikemas dalam bentuk yang unik dan pemilihan tempat di hutan bambu, yang cenderung menambah sisi tradisional dari pasar tersebut. “Jadi, saya kira keunikan itulah sebetulnya keunggulan dari desa-desa kita,” ujarnya usai memborong beberapa makanan, Minggu (28/8).
Dia mengatakan, pasar budaya ini menjadi satu agenda dalam memajukan kebudayaan desa. Hilmar melihat, banyak usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) yang menjajakan macam-macam olahan. Itulah yang menjadi bukti bahwa potensi desa memang luar biasa. Selama ini, dia menilai, desa merupakan tonggak dari pemajuan kebudayan secara umum.
Selain itu, dia ingin desa-desa yang ada di sekeliling Borobudur, khususnya di Kecamatan Borobudur ini dapat menopang keberadaan Candi Borobudur sebagai destinasi pariwisata super prioritas (DPSP). Sehingga pasar budaya ini dapat ambil bagian dalam memperkuat dea-desa yang ada di Kecamatan Borobudur. “Seringkali pikiran kita hanya tertuju pada candi saja, sementara desa punya potensi yang luar biasa,” jelas dia.
Dia optimis, pasar budaya ini akan rutin dilaksanakan dan menjadi kegiatan swadaya desa. Melihat keterlibatan masyarakat yang cukup tinggi untuk ikut memajukan kebudayaan desanya. Setiap desa, harus berjalan dengan sinkron. Baik dari segi penjadwalan maupun produk yang ditawarkan. Masing-masing desa haruslah memiliki keunikan yang diprioritaskan. “Kalau dibuat bersamaan waktunya, nanti orang bingung mau kemana. Kalau produknya semua sama, mungkin juga jadi tantangan,” imbuhnya.
Dia berharap, publikasi soal pasar budaya ini dapat menjangkau masyarakat luar daerah. Selain untuk menambah perekonomian, juga bisa mengapresiasi kegiatan yang dilaksanakan. Karena menurutnya, jika berbicara soal destinasi pariwisata, desa lah yang menjadi tonggak untuk mendongkrak tingkat kunjungan.
Sementara itu, Kepala Desa Tegalarum Agus Pujiwantoro menyebut, ada sekitar 50 masyarakat yang ikut berjualan pada Pasar Tegalan tersebut. Disebut Pasar Tegalan karena berada di tengah-tengah tegal atau ladang bambu. Mereka pun menjual dagangannya bermacam-macam. Mulai dari makanan tradisional seperti buntil, jenang candil, thiwul, ketan kinco, hingga sayur-mayur dan permainan tradisional.
Untuk sistem pembayarannya, dilakukan dengan menggunakan bambu berbentuk persegi panjang bernama Tegalan senilai Rp 2 ribu. Rencananya, pasar ini akan dibuka setiap Minggu Kliwon dan Legi. Kendati masih terbilang baru, dia berharap, posisi pasar ini bisa menggeliatkan UMKM dan potensi yang ada di desanya. “Agar perekonomian masyarakat juga meningkat,” ujarnya. (pra)