MUNGKID – Kirab Budaya dan Rapat Raksasa bertajuk ‘Nyawiji Nunggal Rasa’ mengusung semangat kebersamaan masyarakat. Yang mana mereka bahu membahu untuk bisa kembali bekerja dan berkarya. Selain itu, pagelaran ini sebagai upaya agar pulih kembali pada kondisi semula.
Berdasarkan pantauan, ribuan masyarakat mulai memadati sepanjang kawasan kirab, dari Candi Pawon menuju Candi Borobudur sejak pukul 08.00. Tidak hanya dari masyarakat sekitar Borobudur saja, tapi juga luar daerah. Mereka berduyun-duyun, rela berdiri di sisi kanan-kiri, dan berdesakan demi melihat pagelaran akbar tersebut.
Kirab Budaya dan Rapat Raksasa G20 Culture Ministers Meeting terdiri dari empat segmen kegiatan. Yakni Ritus ‘Bangun Tuwuh’ di Candi Pawon, Kirab Budaya ‘Mulih Pulih’ dari Candi Pawon menuju Candi Borobudur, Rapat Raksasa ‘Nyawiji’ di Taman Lumbini Candi Borobudur, dan Parade Seni ‘Golong Gilig’.
Ritus ‘Bangun Tuwuh’ diselenggarakan pada pukul 08.00 dan merupakan simbol dari harapan seluruh kalangan masyarakat untuk sebuah awal yang baru setelah dua tahun pendemi. Biji tanaman yang dibawa oleh perwakilan 20 desa, kemudian didoakan, dibawa pulang, dan ditanam. Dengan harapan akan tumbuh subur bersama dengan tumbuh makmurnya kehidupan masyarakat.
Ritus doa bersama ini sekaligus menjadi pembuka rangkaian kegiatan kirab. Yang dihadiri oleh perwakilan dari 20 desa, perwakilan pemuka agama, dan pemuka adat nusantara di Candi Pawon. Kirab Budaya ‘Mulih pulih’ merupakan gerak kirab massal yang melibatkan 2.000 masyarakat desa yang bergerak dari Candi Pawon ke lapangan Lumbini, kompleks Candi Borobudur. Sepanjang jalan, mereka menari yang ditata secara koreografis menurut gagasan dan tradisi masing-masing desa. Namun, dalam detak yang sama dipimpin oleh direktur artistik R M Altiana dan diiringi aransemen musik oleh Trie Utami.
Karya-karya instalasi fauna Borobudur, karya-karya limbah dan tetumbuhan, juga menemani gerak kirab ini. Semuanya merupakan gambaran semangat masyarakat untuk bergerak bersama membangun masa depan yang cerah dan berkelanjutan.Kisah Jataka yang terpahat dalam relief Candi Borobudur diambil sebagai tema Kirab Budaya. Sekaligus memberikan inspirasi masyarakat di tiap-tiap desa dalam penciptaan karya instalasi ragam fauna.
Selain itu, mereka juga mempersiapkan berbagai makanan tradisional dan produk kuliner lokal andalan desa masing-masing. Kemudian, diikut sertakan saat kirab dan nantinya disajikan pada saat Kembul Bujana atau upacara makan bersama.Rapat Raksasa ‘Nyawiji’ merupakan simbol solidaritas dengan sesama dan menyampaikan aspirasi melalui rangkaian pertunjukan. Di satu sisi, juga menjadi adaptasi artistik dari aneka isu yang telah didiskusikan dalam rangkaian kegiatan yang melibatkan pelaku budaya sebelumnya.
Direktur Pembinaan Tenaga dan Lembaga Kebudayaan, Dirjen Kebudayaan, Kemendikbudristek Judi Wahjudin menilai, potensi yang ada di Borobudur luar biasa. Hal itu terbukti dengan masyarakatnya yang mampu mengeksplorasi kekuatan-kekuatannya. “Mereka gotong royong dan menyajikannya dalam sebuah sajian yang luar biasa,” ujarnya di sela kirab, Senin (12/9).
Dengan kirab budaya yang mengutamakan kearifan lokal ini menjadi bukti bahwa ketahanan budaya bisa memberikan kontribusi. Dia berharap, hal itu menjadi satu solusi untuk membangun hidup berkelanjutan.Meski pada Rapat Raksasa ada banyak isu yang dibahas, namun penekanannya ada di aspek kebudayaan. Terutama bagaimana kebudayaan bisa memberikan kontribusi dan solusi terhadap permasalahan umum dunia. Seperti cuaca, finansial, sandang, papan, pangan, maupun lainnya.
Dirjen Kebudayaan memang sengaja mengajak masyarakat turut andil dalam rangkaian kirab ini. Karena masyarakat sebagai subjek, bukan objek. “Mereka harus disertakan dan melalui kirab mereka menyampaikan pesan kearifan lokal gotong royong, toleransi, perbedaan agama, dan lain sebagainya,” papar Judi.
Adapun 20 desa tersebut meliputi Kembanglimus dengan ikon gajah, Tuksongo ikon ayam jago, Kenalan penyu, Majaksingi dengan ikon buaya, dan Bigaran ikon burung pelatuk. Sedangkan desa Ngadiharjo membawa ikon macan, Karanganyar dengan angsa, Giripurno kumbang, Candirejo ikon singa, dan Ngargogondo dengan ikon babi hutan.
Sementara Desa Wringinputih memiliki ikon merak, Giritengah kuda sembrani, Kebonsari ikon banteng, Bumiharjo kerbau, dan Tegalarum dengan ikon serigala. Kemudian, Desa Sambeng dengan ikon garuda, Tanjungsari ikon kera, Borobudur badak, Wanurejo kijang emas, dan Karangrejo membawa ikon naga.
Ikon tersebut, kata Yudi, bersumber dari relief candi yang merupakan simbol kearifan lokal. Inspirasi itulah yang dibawa tiap desa di Kecamatan Borobudur. Menurutnya, setiap desa memiliki korelasi dengan makna dibalik binatang-binatang tersebut. “Semua fauna itu ada di Candi Borobudur. Disertai dengan beberapa riset, dan lain-lain,” bebernya.
Sementara itu, Sekretaris Daerah Kabupaten Magelang Adi Waryanto mengapresiasi antusias masyarakat di 20 desa yang ada di Borobudur. Juga kepada Direktorat Jenderal Kebudayaan, yang ikut mendorong masyarakat untuk menunjukkan inovasi dan mengembangkan budaya yang dimiliki melalui kirab.
Dia mengatakan, Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Magelang akan terus mendorong berbagai kegiatan, termasuk kirab budaya. Hal itu sebagai upaya untuk menumbuhkan kreativitas dan inovasi masyarakat di Kawasan Borobudur. Tidak hanya itu, kegiatan ini juga akan berpotensi menumbuhkan perekonomian masyarakat dan mengundang wisatawan.Dia berharap, kegiatan seperti ini terus berjalan dan berkesinambungan. “Apapun akan kami lakukan sebagai kesungguhan terhadap wisatawan baik mancanegara maupun domestik,” ujarnya.
Seorang warga Kota Magelang Ch Kurniawati mengaku, memang sudah meluangkan waktunya untuk melihat kirab budaya. Dia juga takjub dengan desa di Borobudur yang menyimpan banyak potensi-potensi. “Ini menjadi contoh yang luar biasa, mereka memanfaatkan bahan-bahan dari kearifan lokal dan alam sekitarnya,” kata dia. (aya/pra)