MUNGKID – Di wilayah Kecamatan Candimulyo, Kabupaten Magelang, ada satu dusun yang hanya terdiri atas enam rumah. Tapi, hanya dihuni oleh lima kepala keluarga (KK). Sementara satu rumah dibiarkan kosong usai pemilik meninggal dan dikontrakkan. Seperti apa dusun ini?
Dusun ini namanya Pencar. Secara administratif, dusun ini masuk wilayah Dusun Mejing VII, RT 21/RW 8, Desa Mejing, Kecamatan Candimulyo. Karena dulunya, satu kadus membawahi beberapa dusun.
Untuk sampai di lokasi dusun ini, harus melewati jalan perkampungan yang sudah dicor. Juga pepohonan bambu di sisi kanan dan kiri. Namun saat memasuki wilayah Dusun Pencar, jalan masih berupa makadam atau hanya diberi bebatuan. Sehingga perlu ekstra hati-hati jika hendak ke dusun ini. Apalagi saat musim penghujan.
Untuk sampai lokasi pun harus melewati pesawahan. Bahkan bagi orang yang belum pernah ke Dusun Pencar, akan mengira jika sudah tidak ada perkampungan lagi. Karena lokasi dusun ini berada paling pojok desa. Sedangkan dusun terdekatnya yakni Mejing VII yang berjarak sekitar 50 meter.
Saat memasuki kawasan dusun, memang tampak lengang. Tak ada aktivitas masyarakat. Pun tak ada anak-anak yang berlarian atau bercanda ria di halaman rumah. Kendati demikian, dusun itu memang menawarkan suasana khas pedesaan. Asri dengan beberapa pohon rindang dan pohon bambu.
Warga yang tinggal di dusun ini masih memiliki hubungan saudara. Sayangnya, tidak ada pemuda yang tinggal di sana. Hanya para orang tua dengan usia lanjut usia yang mendiami rumahnya. Para pemudanya kebanyakan merantau hingga menetap di tanah rantau. Bisa dikatakan sebagai seleksi alam.
Rumah yang dihuni sudah ada yang berdinding bata, tapi ada juga yang masih berupa gedek atau terbuat dari bambu. Demikian pula alasnya, ada yang masih berupa tanah. Jumlah rumahnya dari dulu memang tidak bertambah.
Kepala Seksi Kesejahteraan Desa Mejing Lilik Darto mengaku, tidak mengetahui pasti soal tetapnya jumlah rumah di dusun itu. Entah mitos atau ada hal lain yang membuat para pemuda atau pendatang tidak betah berlama-lama di dusun itu.
“Saat ada pendatang atau tetangga baru, menempati rumah itu, nanti (penghuni) yang lama entah meninggal atau pindah. Itu biasanya seperti itu, maka rumahnya tidak tambah, jumlah KK-nya tetap seperti itu,” kata Lilik saat ditemui di Balai Desa Mejing, Senin (12/9).
Sekarang, kata dia, ada enam rumah di dusun itu. Tapi, yang dihuni hanya lima rumah dengan lima KK dengan jumlah 14 jiwa. Kebanyakan dari mereka bermata pencaharian sebagai petani dan buruh. Meski akses jalannya terbatas, bisa dilalui roda empat. Warga setempat pun sudah berkali-kali mengusulkan agar akses jalannya diaspal.
Sekretaris Desa Mejing Eko Fatulloh menambahkan, Dusun Pencar dulunya secara administrasi masuk wilayah Jogowisan. Kemudian, karena pengaturan administrasi dari Kabupaten Magelang, lalu berganti nama menjadi Dusun Mejing VII.
“Saya mulai menjadi perangkat tahun 2010 masih banyak menemui KK dengan alamat Jogowisan, kemudian melakukan perbaikan beralih menjadi Mejing VII,” jelasnya.
Sementara itu, salah seorang warga Dusun Pencar Dulhadi, 67, mengungkapkan, dulunya ada delapan rumah. Kemudian, saat tinggal di dusun ini, dua pemilik rumah tidak memiliki keturunan. Lalu, pindah ke desa lainnya. “Orang sini (Dusun Pencar, Red) ibarat kelapa satu dompol atau masih saudara,” katanya.
Dia menuturkan, saat beranjak dewasa, para pemuda di dusun ini memutuskan untuk merantau. Hingga akhirnya menetap dan memiliki rumah sendiri di perantauan. Pulang hanya sesekali jika rindu dengan kampung halaman atau bahkan hanya satu tahun sekali. “Sekarang tinggal lima (rumah dihuni). Satu rumah dikontrak untuk pelihara kambing, sekarang sudah kosong,” ujarnya.
Selain dirinya, empat rumah lainnya milik Suratmi, Kaedi, Sastro, dan Paijem. Sedangkan pemilik rumah lain bernama Qotuyah, telah meninggal dan dikontrakkan untuk peternakan kambing.
Saat ditanya soal adanya gugon tuhon atau berarti pamali atau mitos di dusun itu, dia mengaku tidak mengetahuinya. Banyak orang yang beranggapan demikian, tapi sebenarnya tidak ada.
Dikatakan, kepercayaan itu hanya berasal dari pikiran warga. Tidak sepenuhnya benar. Karena banyak yang menganggap bahwa dusun itu tidak boleh memiliki rumah lebih dari tujuh. Mengingat banyak yang tidak betah untuk tinggal di sana. “Tapi, itu misalnya dimujadahi bisa kok (kerasan, Red),” tuturnya.
Satu alasan yang kemungkinan logis adalah karena dusun tersebut baru dialiri listrik selama dua tahun belakangan. Semula, meteran listrik dititipkan di Dusun Mejing VII, kemudian menyambung sampai rumah-rumah warga dengan kabel.
Bahkan, dulunya Dulhadi hanya memakai lampu teplok. Lambat laun, bahan bakar minyak mulai langka. Bahkan, tidak ada. Sehingga dirinya memilih untuk memasang listrik pada 2002. “Saya pasang tahun 2002, listrik sendiri. Di sana tidak boleh dipindah. Di sini baru pasang meteran Lebaran kemarin,” jelasnya.
Seorang warga lain Paijem, 72, mengatakan, telah memiliki tiga anak. Kedua anaknya merantau di Jakarta dan Temanggung. Sedangkan yang sulung tinggal bersamanya. Mereka berdalih tidak betah tinggal di dusun itu, sehingga pergi merantau. Sesekali pulang jika rindu dengannya.
Dari dulu, lanjut dia, rumah di dusunnya tidak bertambah. Dia berharap, akses jalan yang berupa makadam bisa dicor seperti dusun-dusun lainnya. “Umpama ada yang kerasan, ya nggak apa-apa. Tapi nggak tahu (penyebabnya) cuma ini (lima KK, Red) saja,” ujarnya sembari membuat sapu lidi di belakang rumahnya. (laz)