MAGELANG – Bagi sebagian orang, jika mendengar kata ‘bajingan’, tentu mengandung konotasi negatif. Lantaran kerap disangkutpautkan dengan makian maupun julukan bagi berandal. Tapi, berbeda dengan ‘bajingan’ di Jawa Tengah. Karena merupakan nama dari makanan yang berbahan dasar ketela atau singkong. Seperti apa?
Namanya bajingan tela. Kudapan ini banyak ditemui di wilayah Magelang, Temanggung, dan sekitarnya. Meski berbahan dasar sama, tapi tiap daerah memiliki cita rasa yang berbeda. Perbedannya, bajingan tela di Magelang yang dimasak menggunakan nira kelapa atau badeg. Sedangkan di Temanggung, memakai gula jawa.
Di Dusun Sendaren 1, Desa Karangrejo, Kecamatan Borobudur, ada produksi bajingan tela. Namun, hanya menerima pesanan saja. Mengingat kudapan ini tidak bertahan lama. Hanya satu hari. Karena tidak menggunakan bahan pengawet.
Bajingan tela ini memiliki tekstur lembut dan rasa yang tidak terlalu manis. Akan terasa semakin enak jika disantap saat masih hangat. Ditambah dengan teh klethuk maupun kopi. Perpaduan yang sempurna untuk pencari olahan tradisional. Apalagi disajikan saat musim hujan. Sembari menikmati suara rintik air dari atap rumah.
Pemilik Gubuk Kopi Agus Prayitno bercerita, nama ‘bajingan’ ini diambil dari nama hewan yang berkaitan erat dengan bahan masakannya. Konon, nama ‘bajingan’ berasal dari kata bajing atau hewan tupai yang sering mencuri air nira kelapa saat masih di pohonnya.
Sehingga bajing menjadi musuh bebuyutan para warga. Lantaran saat itu, sebagian besar warga di dusun tersebut, kehidupannya bertopang menjadi pembuat gula jawa. Akibat ulah bajing itu, perolehan air nira semakin menipis. Praktis memengaruhi jumlah produksi gula.
Biasanya, tiap petani gula bisa memanjat kisaran 10 pohon kelapa per harinya. Dari 10 pohon tersebut, bisa menghasilkan kurang lebih 10 liter air nira. Karena sering dimangsa bajing, dari 10 pohon kelapa, kadang disisakan tiga hingga lima bumbung, atau wadah nira yang terbuat dari potongan bambu.
Lantaran tidak bisa dimanfaatkan untuk gula jawa, para petani akhirnya membuat olahan makanan bernama ‘bajingan’, yang dipadukan dengan ketela. “Nanggung kalau sisanya segitu. Karena standar untuk membuat olahan gula itu paling tidak membutuhkan 10 liter air nira,” bebernya saat ditemui, Selasa (4/10).
Untuk membuat bajingan tela, biasanya ketela yang digunakan berjenis klenteng. Saat dimasak, membutuhkan waktu 10-15 menit. Dengan catatan, ketela sudah dimasak hingga matang dan dibutuhkan segera. Tapi, jika belum matang, pengolahan bajingan tela bisa mencapai dua hingga tiga jam. Dicampur saat merebus air nira.
Agus menyebut, cara pembuatannya cukup sederhana dan terbilang mudah. Air nira direbus hingga mendidih. Kemudian, ketela dimasukkan beberapa saat sampai air nira meresap. Setelah itu, barulah diangkat dan disantap selagi hangat.
Meski olahan tradisional, justru banyak digemari oleh warga, terutama wisatawan yang mampir ke gubuknya. Bajingan ini dikemas satu porsi untuk tiga hingga empat orang. Dibanderol dengan harga Rp 15 ribu. “Namanya saja berakhiran ‘ngan‘. Kalau di Jawa kan artinya bareng-bareng,” kelakarnya.
Setiap harinya, Agus melayani para pembeli yang penasaran dengan olahan bajingan tela. Namun, dirinya tidak menerima pesanan saat Jumat-Minggu. Karena tidak bisa meng-handle-nya. Bajingan tela memang bukan olahan mewah. Bahkan, kini eksistensinya mulai luntur. Kalah dengan makanan lain yang lebih kekinian. (aya/bah)