MUNGKID – Produksi Batik Keloen yang terletak di Desa Tirtosari, Kecamatan Sawangan sudah tembus hingga pasar Internasional. Batik dengan berbagai motif ini pernah dipamerkan di Belanda, Jerman, dan Tiongkok. Tapi, karena pandemi dan pesanan membludak, belum ada pameran lagi.
Batik ini didirikan sejak 2011. Menurut istilah Jawa, keloen berarti merangkul atau mengajak. Dengan adanya batik tersebut, pemilik hendak mengajak masyarakat sekitar untuk ikut mengangkat budaya Indonesia. Terutama batik lokal di Kabupaten Magelang.
Pemilik Batik Keloen Andre Yudho mengatakan, motif batik yang sudah terdaftar secara nasional yakni Pacar Prenthil, Sapto Renggo, Untu Butho, dan Sawut Kelapa. Pacar Prenthil merupakan tanaman Jawa yang sudah langka. Dulunya, yang menanam hanya dari kalangan orang-orang berduit.
Kemudian, motif Sapto Renggo berarti tujuh kebaikan manusia. Mengingat batik ini didirikan agar bisa memberi kemanfaatan bagi orang lain. Sedangkan Untu Butho dan Sawut Kelapa belum memiliki filosofi. Karena yang mendesain dari anaknya sendiri.
Batik produksinya sudah merambah ke pasar Internasional. Seperti Belanda, Jerman, Eropa Timur, hingga Kanada. Sedangkan peminat lokal, paling banyak berasal dari Jakarta, Bandung, Medan, dan Manado.
Mereka kebanyakan suka dari segi warna, bukan motif. Sehingga dia lebih menonjolkan warna ketimbang motif. Karena ketika bicara motif, akan dimungkinkan bakal dicontoh oleh orang lain. “Kalau orang Indonesia lebih cenderung warna-warna yang tajam, ngejreng. Tapi, kalau orang luar sukanya warna alam,” bebernya, Rabu (5/10).
Setiap hari, untuk produksi batik kombinasi atau cap dan tulis sebanyak 15-20 potong. Untuk batik tulis, produksinya hanya mencapai 10 potong. Itu saja motif sederhana. Mengingat batik tulis perlu ketelitian yang tinggi sehingga butuh waktu lama agar benar-benar selesai.
Untuk warna yang digunakan, menggunakan pewarna sintetis dan alam. Sedangkan warna alami memakai bahan bermacam-macam. Mulai dari secang, julawe, indigo, dan lain-lain. Tanamannya pun didapat di sekitar lokasi.
Dia menyebut, ada 30 tenaga kerja yang membantu untuk memproduksi batik. Tapi, hanya 12 orang saja yang bekerja secara langsung. “Cuma sekarang ini banyak yang mengerjakannya di rumah. Karena mereka punya banyak anak kecil dan lain sebagainya,” ujarnya.
Andre ingin memberdayakan masyarakat sekitar. Lantaran biasanya, mereka bertani mulai pagi hingga pukul 09.00. Lalu, berangkat lagi ke ladang pukul 16.00. “Kami memanfaatkan waktu luang mereka biar lebih produktif lagi,” imbuhnya.
Sedangkan pemasaran batik ini dilakukan secara langsung maupun online. Bahkan, pemasaran lebih banyak dilakukan secara online. Dia mengatakan, setiap pesan bisa sekitar 100-300 potong. Namun, rata-rata pemesanan 80-100 potong.
Harga yang dibanderol batik perlembar kisaran Rp 350 ribu untuk motif kombinasi, hingga lebih dari Rp 1 juta untuk motif tulis. Saat ditanya omzet, setiap bulan berbeda. Tidak bisa disamaratakan.
Dia menuturkan, batik yang dijual hanya berupa kain. Dulunya, konsep kain yang dijual yakni satu motif untuk satu potong. Kecuali ada yang memesan baju. Andre akan mencari penjahit sekaligus pengukuran badannya. (aya/bah)