Neutron Yogyakarta

Tangani Sampah Organik dengan Budi Daya Maggot

Tangani Sampah Organik dengan Budi Daya Maggot

MUNGKID – Budi daya maggot atau larva lalat jenis black soldier fly (BSF) di Desa Margoyoso, Salaman mulai digalakkan. Hal ini bertujuan untuk mengurai permasalahan sampah. Sebab, maggot akan mengonsumsi berbagai jenis sampah organik sejak menetas dari telur.

Pembudidaya maggot di Dusun Tlogosari Ilmanto mengaku, mengumpulkan sampah rumah tangga di sekitar tempat tinggalnya untuk pakan maggot. Semua sampah organik, dia angkut. Rata-rata tiap rumah, Ilmanto akan mendapatkan 2-3 kilogram sampah yang sudah dibungkus plastik. “Saya ambil sampahnya di tiga RT sekitar rumah. Pokoknya, yang punya sampah dan tidak dimanfaatkan sendiri, saya ambil, kadang juga dikasih tahu sama yang punya rumah kalau sudah ada sampah,” bebernya.

Dulunya, lanjut Ilmanto, sampah-sampah tersebut dibuang secara sembarangan. Baik di belakang rumah maupun selokan. Karena dia ingin lingkungan tempat tinggalnya tidak ada bau busuk dan bersih, kemudian ada ide dari Kepala Desa Margoyoso untuk membudidayakan maggot. Dia pun setuju.

Sebenarnya, kata dia, jika budi daya maggot terus dikembangkan lebih besar, tentu akan memberi keuntungan. Terlebih, biaya produksi sangat minim. Hanya membutuhkan sampah rumah tangga. “Kalau dihitung secara bisnis, sangat menguntungkan. Tapi, kalau secara nominal, saya belum bisa hitung. Karena tidak menentu juga,” ungkapnya.

Budi daya maggot, baru ditekuni Ilmanto sejak Juli lalu. Saat itu, dia mulai membeli telur maggot. Tiga hari setelah itu, maggot menetas. Saat itu, telur yang dibeli sekitar empat gram, menjadi maggot dewasa sekitar 20 kilogram. Namun lantaran belum dimanfaatkan untuk pakan ternak, maggot dibiarkan menjadi prepupa, pupa, hingga menjadi lalat lagi. “Kami sudah melakukan beberapa rotasi dari telur, larva, maggot, pupa, lalat, dan siklusnya mutar terus,” ujarnya.

Selama empat bulan ini, Ilmanto sudah memiliki empat box yang sudah terisi maggot. Masing-masing berisi 7-10 kilogram maggot. Bahkan, dia membuat kandang khusus agar lalat bisa kawin hingga bertelur.

Karena baru membudidayakan maggot, hasilnya pun belum begitu banyak terlihat. Untuk pemasarannya, kata dia, dilakukan secara online di sekitar Kecamatan Salaman. Ada juga pembeli dari Kecamatan Wadaslintang, Wonosobo untuk pakan ikan sekitar 15 kilogram. Dengan harga Rp 7 ribu per kilogram.

Dia menuturkan, maggot biasanya siap dipanen setelah usia 3-4 minggu sejak menetas. Dalam sekali bertelur, maggot bisa menghasilkan 200 hingga 300 nyawa. Ukuran telurnya pun sangat kecil. Ketika lalat kawin, si pejantan otomatis akan mati. Begitupula dengan si betina yang akan mati setelah bertelur.

Dia mengatakan, tumbuh kembang maggot juga dipengaruhi oleh cuaca. Saat musim hujan, lalat tersebut kurang bersemangat untuk kawin. Lain halnya ketika musim panas. Bahkan, hasil telurnya bakal mengalami penurunan yang signifikan. Selain itu, perkembangan media telur menjadi tidak beraturan. “Yang biasanya paling lambat tiga hari menetas, akhir-akhir ini lebih dari lima hari belum menetas. Jadi, perkembangan maggotnya tidak sama,” jelasnya.

Terpisah, Kepala Desa Margoyoso Adi Daya Perdana menjelaskan, orientasi utama budi daya maggot ini bukanlah materi. Melainkan satu bentuk keprihatinannya, karena Kabupaten Magelang darurat sampah sejak lama.

Terlebih tempat pembuangan sampah akhir (TPSA) Pasuruhan yang tidak lagi menerima sampah organik dan rumah tangga. Hal itu membuat masyarakat kelimpungan untuk membuang sampah. “Kami berupaya menangani sampah dari lingkungan terkecil sejak dini. Salah satunya dengan budi daya maggot,” ucapnya.

Dengan demikian, sampah-sampah organik tidak lagi terbuang sia-sia. Bisa dialihkan untuk pakan maggot. Sedangkan maggot yang mengandung protein cukup tinggi, dapat digunakan untuk pakan ternak, seperti ayam hingga lele.

Sebenarnya, ada beberapa cara lain untuk mengurai sampah organik. Seperti disuling atau diubah menjadi pupuk. Namun secara persentase, maggot lebih bisa menyerap sampah organik tinggi ketimbang cara lain.

Tidak hanya maggot saja yang bermanfaat, tapi bekas maggot (kasgot) atau kotorannya pun bisa digunakan sebagai pupuk. “Maggot itu layaknya alat pengurai sampah. Sampah sekitar satu kilogram, setengah jam habis tanpa bekas,” kelakarnya.

Di Desa Margoyoso ini, kata Adi Daya, baru ada dua orang yang bersedia membudidayakan maggot. Meski begitu, dia bakal terus memberikan edukasi untuk memantik kesadaran mereduksi sampah.

Jika masyarakat mau memilah dan memelihara maggot untuk mengatasi sampah organik, masalah sampah di Kabupaten Magelang perlahan teratasi. Sayangnya, upaya untuk mengubah pola perilaku masyarakat hingga kini masih sulit dilakukan. (aya/eno)

Lainnya

RADAR MAGELANG – Proyek pembangunan gedung Puskesmas Alian telah rampung dikerjakan. Infrastruktur layanan kesehatan ini dibangun atas manfaat dana bagi hasil cukai hasil tembakau (DBHCHT) senilai Rp 6,3 miliar. Kepala UPTD Puskesmas Alian Brantas Prayoga memastikan, seluruh layanan kesehatan akan lebih optimal pasca menempati gedung baru. Sebab lewat perbaikan ini standar layanan kesehatan di Puskesmas Alian setingkat lebih maju dari sebelumnya. Terpenting sudah tersedia layanan rawat inap dan rawat jalan. “Layanan kami UGD 24 jam. Di poli kami punya ruang pemeriksaan umum dan MTBS,” jelasnya, Selasa (26/12). Puskesmas yang berlokasi di Jalan Pemandian Krakal tersebut secara resmi membuka pelayanan perdana pada awal Desember lalu. Dari DBHCHT, Puskesmas Alian kini memiliki gedung dua lantai. Dengan fisik bangunan yang berdiri di atas lahan seluas 1.400 meter persegi. Berbagai pelayanan penunjang tambahan saat ini juga telah tersedia. Antara lain poli, pemeriksaan USG dan persalinan. Selain itu, pembangunan Puskesmas Alian juga didesain memiliki ruang tunggu lebih luas agar masyarakat nyaman. Brantas menyatakan, pihaknya akan berkomitmen untuk selalu menjaga mutu kualitas serta profesionalitas terhadap layanan kesehatan masyarakat. “Ada beberapa ruangan dan sudah sekarang beroperasi untuk pelayanan masyarakat,” ucapnya. Sementara itu, Kepala Bea Cukai Cilacap M Irwan menyebut, realisasi penerimaan negara dari objek cukai rokok di Kebumen terbilang cukup tinggi. Tepatnya mencapai Rp 300 miliar. Penerimaan ini tak luput karena banyaknya produsen rokok rumahan di Kebumen. “Penerimaan cukai justru dari Kebumen. Karena pabrik rokok cukup besar ada di Kebumen, sama klembak menyan itu heritage,” kata Irwan. M Irwan menjelaskan, sejauh ini berbagai upaya terus digencarkan agar penerimaan dari objek cukai rokok dan tembakau terus meningkat. Salah satunya melalui tindakan represif dengan melakukan operasi penertiban rokok ilegal. Kemudian, upaya preventif melalui pengawasan terhadap distribusi rokok ilegal. “Ada skema bagi hasil, buat sosialisasi dan patroli tim terpadu,” jelasnya. (fid/ila)