Neutron Yogyakarta

FPKBY Sampaikan Tuntutan ke Sumadi

FPKBY Sampaikan Tuntutan ke Sumadi
DITERTIBKAN: Kelompok pengamen musik angklung beraksi di Jalan Sultan Agung beberapa waktu lalu. Kini, pengamen musik angklung dilarang beroperasi di kawasan Malioboro.(GUNTUR AGA TIRTANA/RADAR JOGJA )

RADAR MAGELANG – Berbagai komunitas yang tergabung dalam Forum Peduli Keragaman Budaya Yogyakarta (FPKBY) berkirim surat ke Penjabat Wali Kota Jogja Sumadi kemarin (5/4). Berisikan pernyataan sikap dan tuntutan terkait larangan pertunjukan musik angklung di kawasan Malioboro.

Perwakilan dari Koperasi Seniman dan Budayawan Jogjakarta (Koseta) Sigit Sugito mengatakan, ada empat poin yang akan disampaikan ke Sumadi. Yakni harus dicabutnya larangan seni angklung di kawasan Malioboro dan jangan lagi muncul larangan yang bertentangan dengan konstitusi UUD 1945. Munculnya pelarangan angklung berkegiatan di Malioboro, telah membuka tabir adanya permasalahan dalam pengelolaan kawasan ini oleh petugas UPT.

Selain itu, perlu adanya fasilitasi bagi grup-grup seni budaya dari berbagai wilayah di nusantara untuk tampil di Malioboro. Serta perlu diusahakan adanya lokasi permanen untuk pertunjukan seni di kawasan Malioboro. “Pernyataan dan tuntutan ini kami sampaikan semata-mata karena rasa cinta kami kepada Jogjakarta sebagai kota budaya, pariwisata, pendidikan, dan predikat lainnya yang harus tetap kita pertahankan,” tuturnya kemarin.

Menurutnya, larangan pertunjukan ini berdasarkan Surat Edaran Gubernur DIJ No. 3/SE/1/2022 tentang Penataan Kawasan Khusus Pedestrian di Jalan Malioboro dan Margo Mulyo. Serta Surat Edaran Kepala Dinas Kebudayaan Kota Jogja No. 430/1.131/SE.Disbud/2022 tentang Pelaksanaan Penataan Kawasan Khusus Pedestrian di Jalan Malioboro dan Margo Mulyo. Disebutkan, semua jenis pedagang kaki lima (PKL) dilarang beroperasi di kawasan tersebut.

“Peristiwa pelarangan angklung yang diasumsikan sebagai bagian dari turunan PKL yang mengacu pada Kebijakan tersebut dalam rangka penataan Malioboro sebagai kawasan cagar budaya,” bebernya.

Sigit menyebut, pelarangan ini mencederai rasa keadilan budaya, tindakan diskriminatif terhadap jenis seni budaya tertentu, dan menunjukkan gejala pemiskinan daya budaya dan ekspresi seni di ruang publik. Selain itu, mengingkari hakikat DIJ sebagai Indonesia mini sehingga mestinya wadah terhadap kehadiran seni budaya nusantara.

“Pelarangan tersebut mengingkari sejarah panjang Malioboro sebagai ruang terbuka bagi berbagai entitas budaya di Indonesia. Dekade 1960-1970, Malioboro telah memberi contoh sebagai ruang terbuka bagi bertemunya para pengembara kreatif dari berbagai wilayah sehingga lahirlah seniman dan sastrawan yang mutakhir di Indonesia,” ungkapnya.

Musisi jalanan angklung yang tergabung dalam grup Carehal Sekti Setyadi menuturkan, larangan yang ada adalah kejahatan kultural. Sebab dalam hal ini, memaksakan penggunaan gamelan di dalam sebuah sajian musik.

“Mungkin maksud Pemkot Jogja melarang agar Malioboro terkesan Jogja sekali. Lalu kalau minta dipadukan pentasnya dengan gamelan, itu tidak aksesibel. Karena gamelan berat, susah dibawa ke mana-mana,” tandasnya. (cr2/eno/sat)

Lainnya

Exit mobile version