RADAR MAGELANG – Umat Buddha dari berbagai daerah di Indonesia tumplek blek di halaman Candi Borobudur untuk mengikuti detik-detik Waisak 2566 BE/2023 yang jatuh pada Minggu (4/6) pukul 10.41.19. Puncak peringatan Tri Suci Waisak diawali dengan kirab yang dilakukan dengan berjalan kaki dari Candi Mendut menuju Candi Borobudur.
Kirab memenuhi Jalan Mayor Kusen, Mungkid, melewati simpang tugu Soekarno-Hatta menuju Jalan Bala Putera Dewa. Banyak masyarakat yang berjajar memenuhi sisi kanan dan kiri di sepanjang jalan raya itu.
Kirab dilakukan untuk mengiringi api dharma dan air berkah yang sebelumnya telah disakralkan di Candi Mendut. Kirab dimeriahkan dengan drumband, mobil hias, pembawa bendera, hasil bumi, para biksu, disusul para umat Buddha, hingga barisan kesenian.
Ketua DPD Walubi Jateng Tanto Soegito Harsono mengatakan, kirab merupakan satu prosesi yang menjadi kebiasaan umat Buddha. Prosesi kirab merupakan suatu gerakan bersama dalam rangka meditasi atau kerap disebut meditasi berjalan. Prosesi ini menjadi momentum religius bagi umat.
Selain itu, juga melatih kesadaran sehingga pikiran menjadi tenang dan seimbang. Juga melambangkan perjalanan Sang Buddha. “Jika ditarik garis lurus, ada tiga candi, yaitu Candi Mendut, Candi Pawon, dan Candi Borobudur yang saling berkaitan,” ujarnya di sela kegiatan.
Ketua Umum Mahabudhi, Majelis Mahayana Buddhis Indonesia Suhu Samanta Kusala Mahasthavira menyebut, ada sekitar 300 biksu dari berbagai negara yang mengikuti perayaan Waisak di Candi Borobudur. Kirab berkaitan dengan perjalanan Sang Buddha.
Dahulu, ketika Sang Buddha Gautama masih ada di dunia, kerap melakukan suatu perjalanan ritual memaparkan Dharma ke seluruh pelosok India. “2.500 tahun yang lalu, tidak ada kendaraan. Jadi, Sang Buddha Gautama menjalankan misi untuk memaparkan Dharma dengan cara berjalan kaki,” terangnya.
Dengan demikian, kirab merupakan suatu simbol yang mana para biksu ikut menelusuri serta meneladani Buddha Gautama. “Salah satunya dengan melakukan ritual prosesi jalan kaki dari Candi Mendut ke Candi Borobudur,” tambahnya.
Sementara itu, warga dari Jakarta Sally Maitimo mengaku sudah kali kedua mengikuti prosesi Waisak di Candi Borobudur. Kirab ini tidak hanya sekadar kegiatan religi, tapi juga budaya. Apalagi mereka melakukan meditasi dengan berjalan dari Mendut ke Borobudur.
Meski dia bukan seorang umat Buddha, baginya hal itu dapat menyerap energi positif dari Sang Buddha. “Saya memang sengaja datang dari Jakarta untuk mengikuti prosesi Waisak sejak Jumat (2/6). Jawa ini (agamanya) kuat sekali, bisa menyatu dengan agama lain,” paparnya.
Di tengah teriknya panas matahari, ribuan umat Buddha tetap khusyuk mengikuti prosesi menanti detik-detik Tri Suci Waisak. Detik-detik Waisak ditandai dengan pemukulan gong tiga kali oleh salah satu pimpinan biksu, dilanjutkan meditasi.
Wakil Menteri Agama Zainut Tauhid Sa’adi menuturkan, peringatan Tri Suci Waisak menjadi satu wujud kebersamaan umat Buddha yang memiliki makna luas dan mendalam. Termasuk mengimplementasi ajaran Buddha untuk mewujudkan rasa toleransi, pengertian, dan penerimaan.
Peringatan Tri Suci Waisak diharapkan dapat menjadi momentum yang tepat bagi umat Buddha di seluruh tanah air. Khususnya untuk mengenang kembali sejarah tiga peristiwa penting, yaitu kelahiran Sidharta Gautama. Termasuk kesempurnaan yang diraih dengan mendharmabaktikan hidup untuk kemanusiaan.
Wakil Ketua DPP Walubi Karuna Murdaya mengatakan, peringatan Waisak tahun ini mengusung tema ‘aktualisasikan ajaran Buddha Dharma di dalam kehidupan sehari-hari’. “Yang mana mengandung ajakan berbuat baik, saling menyayangi, memaafkan, cinta kasih, dan welas asih sebagai sumber kebahagiaan alami,” terangnya. (aya/laz/sat)