Neutron Yogyakarta

Produktivitas Kopi Anjlok, Penyebabnya Hujan Berkepanjangan pada Tahun lalu

Produktivitas Kopi Anjlok, Penyebabnya Hujan Berkepanjangan pada Tahun lalu
STOK MENURUN: Ketersediaan kopi di Desa Krinjing, Kajoran mengalami penurunan. Karena pada 2022 lalu, terjadi hujan yang berkepanjangan.Dokumentasi Nasopi 

RADAR MAGELANG – Tahun ini, produktivitas kopi di beberapa daerah, terutama di Kabupaten Magelang anjlok. Hal itu berpengaruh terhadap jumlah panen yang semakin sedikit dan harga di pasaran menjadi tinggi. Salah satu penyebabnya adalah fenomena La Nina yang berkepanjangan pada 2022.

Penyuluh Pertanian Kecamatan Grabag Prasetyo mengatakan, saat ini petani kopi rata-rata hanya panen kurang dari satu ton dalam satu hektare. Padahal, panen kopi pada periode yang sama tahun lalu, satu hektare lahan bisa memperoleh hingga tujuh ton. “Turunnya drastis sekali,” bebernya saat ditemui Kamis (5/10).

Banyaknya curah hujan tahun lalu, mengakibatkan bunga tanaman kopi terkena jamur dan berguguran. Baik kopi jenis robusta maupun arabika.
Dia menyebut, panen raya kopi ini biasanya dilakukan serentak pada Agustus hingga September. “Masa panen kopi yang belum disambung sekitar 5 tahun. Tapi, kita tanam itu bibit kopi umur setengah tahun. Ketika umur satu hingga satu setengah tahun, kita sambung. Sehingga di tahun depannya sudah panen,” jelasnya.

Baca Juga: Kopi Tanah Papua Gaungnya Sudah Mendunia, Enaknya Memikat Supeeeer Deh !

Penurunan produktivitas ini, lanjut dia, berpengaruh terhadap harga kopi. Bahkan, harganya tembus Rp 11 ribu per kilogram (kg) kopi ceri atau masih dalam kondisi basah. Biasanya di harga Rp 5 ribu hingga Rp 6 ribu per kg.

Kepala Dinas Pertanian dan Pangan (Distanpangan) Kabupaten Magelang Romza Ernawan menyebut, tahun ini produktivitas kopi di wilayahnya memang menurun drastis. Yang berakibat pada naiknya harga komoditas tersebut. “Kalau luas lahan kopi robusta sekitar 2.600 hektare dan arabika kisaran 400 hektare,” katanya.

Sementara itu, petani kopi Desa Krinjing Nasopi menuturkan, pada 2021, dia bisa mengolah sekitar enam ton kopi ceri. Sementara pada tahun ini, dia hanya mampu mengolah lima kuintal. “Untuk tahun ini (periode 2022-2023), bisa dikatakan gagal panen. Karena hampir tidak ada kemarau dan hujan terus-menerus,” jealsnya.

Baca Juga: Ini Rekomendasi Coffee Book Jogja Yang Harus Dikunjungi Bagi Pecinta Buku dan Kopi

Hujan yang berkepanjangan itu, mengakibatkan bunga kopi membusuk dan kurangnya sinar matahari. Selain itu, banyak petani yang belum menerapkan sistem pangkas, lepas, dan panen. Namun, kata dia, faktor utamanya adalah alam.

Lantaran hasil panen yang sedikit, dia memanfaatkan persediaan panen kopi pada 2021 lalu untuk diolah. “Kalau dari harga jualnya, jelas naik. Kalau yang sudah diolah mulai dari Rp 100 ribu hingga Rp 150 ribu per kg. Kalau robusta di angka Rp 140 ribu hingga Rp 150 ribu,” tandasnya. (aya/eno)

Lainnya