RADAR MAGELANG – Kementerian Agama (Kemenag) menerbitkan surat edaran (SE) Nomor 11 Tahun 2023 soal pemanfaatan kantor Kemenag sebagai rumah ibadah sementara. Hal itu menjadi bentuk perhatian dari Menteri Agama (Menag) kepada umat beragama di Indonesia.
Staf Khusus Menag Bidang Media dan Komunikasi Publik Wibowo Prasetyo mengatakan, SE tersebut mengatur terkait persyarayan dan prosedur penggunaan kantor Kemenag sebagai rumah ibadah sementara. “Gus Men (Yaqut, Red) sangat perhatian terhadap umat. Dia ingin agar tidak ada yang menghambat pelaksanaan peribadatan umat,” ujarnya, Jumat (24/11).
Dia mengutarakan, umat agama yang masih menunggu proses izin pendirian rumah ibadah, bisa memanfaatkan kantor kemenag untuk beribadah. Tentunya sesuai dengan prosedur dan ketentuan yang ditetapkan.
Baca Juga: Lancar Belajar, Telkomsel Kolaborasi dengan Kementerian Agama
Terbitnya SE tersebut, lanjut Wibowo, menjadi terobosan dalam menghadirkan negara di tengah umat. Kemenag ingin hadir memfasilitasi kebutuhan umat dalam menjalankan ibadahnya. Khususnya bagi mereka yang masih dalam proses pendirian atau pembangunan rumah ibadah.
Harapannya, SE tersebut menjadi salah satu solusi agar umat beragama tetap bisa menjalankan ibadahnya dengan baik. Lebih-lebih, Kemenag sangat concern atau perhatian dalam upaya merawat kerukunan. Termasuk mendeteksi dini potensi konflik antarumat beragama. Sehingga bisa segera dicegah.
Wibowo menambahkan, saat ini Kemenag tengah mengembangkan platform atau aplikasi deteksi dini konflik keagamaan. Dia berharap, akhir 2023 atau awal 2024 sudah siap digunakan. “Penyuluh agama nantinya bisa melakukan monitoring atas potensi yang ada di tengah masyarakat,” bebernya.
Dengan begitu, ketika ada embrio potensi konflik, bisa segera dideteksi dan diberi treatment agar tidak berkembang menjadi sebuah konflik. Hal itu selaras dengan terbitnya Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 58 Tahun 2023 tentang penguatan moderasi beragama.
Baca Juga: Yayasan AHM Cari Film Pendek Kreatif tentang Keselamatan Berkendara
Menurutnya, moderasi beragama tidak perlu dinilai sebagai sebuah paksaan. Sebab Indonesia memiliki beragam golongan dan harus saling menjaga toleransi satu sama lain. “Seringkali kita dapati daerah yang belum menerima budaya lokal. Seperti larung sesaji,” ujar dia.
Alih-alih dihormati, budaya lokal seperti itu masih dihalang-halangi oleh masyarakat. Padahal, mengandung makna filosofis yang tinggi dan menjadi bukti adanya warisan budaya lokal zaman dahulu. Meski begitu, masyarakat juga harus tetap teguh terhadap agama atau kepercayaan yang diyakininya. Termasuk menanamkan sikap toleransi.
Kadangkala, kata Wibowo, masih ada stempel atau labelling terhadap pelaksanaan moderasi beragama. Seolah-olah diarahkan pada titik tertentu. “Sebenarnya, sikap itu memang harus kita hadapi karena kita hidup dengan berbagai keberagaman,” jelasnya.
Baca Juga: Hari Amal Bakti Ke-71 Kementerian Agama RI, Tanam Seribu Pohon
Sementara itu, Kepala Pusat Kerukunan Umat Beragama (PKUB) Kemenag Wawan Djunaedi mengutarakan, moderasi beragama di Indonesia semakin rigit. Cara beragama yang dulunya terkesan biasa saja, kini harus lebih berhati-hati. “Zaman dulu kita guyonan tentang agama, biasa-biasa saja. Sekarang bisa dikatakan penistaan,” terangnya.
Untuk itu, lanjut dia, moderasi beragama harus ditanamkan dan dikuatkan sejak dini. Jika tidak, hal tersebut dapat memicu terjadinya konflik antarumat beragama. “Dalam mengeluarkan statement yang mengandung urusan agama, itu kalau bisa kita menahan diri. Menggunakan rasa keagamaan itu yang paling penting,” imbuhnya. (aya/pra)