JOGJA – Berawal dari kegemarannya mencoba aneka jajanan, mengantar Widiana pada komunitas jasa titip (jastip). Saat mulai bergabung, dia justru kaget dengan selisih harga jual antara untuk konsumen dan dari distributor. “Kok menarik, sepertinya menguntungkan. Terus ikut grup jastip,” bebernya kepada Radar Jogja saat ditemui Jumat (5/8).
Mulai terjun sejak 2020, ibu satu putra ini awalnya tidak mengejar keuntungan dari jastip. Dia lebih tertarik untuk mendapat barang dengan harga yang lebih murah. Sekaligus mendapat barang yang diinginkan, meski belum masuk marketplace. “Jadi kadang di jastip sudah ada duluan. Kalau pun ada di marketplace, biasanya ada selisih harga,” jelasnya.
Tinggal di Padukuhan Cepokojajar, Sitimulyo, Piyungan, Bantul, ternyata menguntungkan Widiana. Terlebih, dia bekerja di ekspedisi pengiriman barang yang berbasis di Kota Jogja. Mengingat pengguna jasanya tinggal di berbagai penjuru Nusantara. “Aku di Jogja, jadi open jastip barang dari Jogja. Seringnya makanan oleh-oleh khas Jogja,” paparnya.
Membagi kiatnya, Widiana memanfaatkan promosi sebuah produk bakpia kukus. Dia akan membuka jasa ketika bakpia dijual dengan harga Rp 15 ribu per boks. “Itu biasanya kenceng (banyak peminatnya, Red),” lontarnya.
Permintaan yang tinggi terhadap oleh-oleh makanan khas Jogja, mencetuskan ide untuk meluaskan kerja sama. Widiana kini tengah membangun jejaring dengan pelaku ekspedisi di Mataram, Nusa Tenggara Barat (NTB). “Kami mau buat katalog karena produk oleh-oleh diminati,” sebutnya.
Selain makanan, ia juga membuka jastip untuk produk fashion dan pernak-pernik kekinian. Semisal tempat tisu multifungsi. Dia sampai dua kali melakukan pre-order (PO). Tiap PO pun jumlahnya lebih dari 100 buah. “Waktu itu belum banyak di marketplace,” ungkap perempuan yang pernah bekerja di stasiun televisi lokal ini.
Dalam melakoni usaha jastip ini, Widiana hanya mau bersinggungan dengan orang-orang yang dia anggap real. Hanya orang dalam komunitas yang benar-benar dia tahu saja yang akan diajak bertransaksi. Hal ini dilakukan untuk meminimalisasi terjadinya kerugian. “Rata-rata di grup itu, kami saling kenal. Tidak kenal pun, kami tahu dia (bisa masuk grup, Red) bawaannya siapa. Jadi terbatas,” ungkapnya.
Widiana lantas membeber pengalaman buruknya dalam usaha jastip. Dia memesan barang dari seorang distributor. Lantaran tergiur dengan harga yang murah. Tapi, ternyata distributor barang itu mengambil barang dari importer yang tidak jujur. “Sekarang orangnya buron, dia orang Tangerang dan membawa uang miliaran rupiah,” sesalnya.
Importer ini disebut Widiana menerapkan sistem Ponzi. Awalnya, mengiming-imingi harga murah dan bisa mendapat barang. Setelah konsumen percaya dan menitipkan uangnya lebih banyak, dia kabur. “Satu orang jastip bisa kena sampai Rp 13 juta. Tapi untungnya, distributor mau bertanggung jawab ke para pelaku jastip. Tapi dibayar per termin,” ujarnya. (fat/laz)