RADAR MAGELANG – Harga kedelai impor yang terus mengalami kenaikan. Jika biasanya berkisar antara Rp 10 ribu hingga Rp 11 ribu, kini menyentuh Rp 13.200 per kilogram. Hal ini pun membuat produsen tempe terpaksa mengurangi ukuran produk.
Seperti yang dilakukan oleh Abdul Karim, pengelola Pabrik Tempe Muchlar. Cara itu dinilai sebagai jalan terbaik dibandingkan menaikkan harga jual tempe. “Konsumen pasti mengeluh. Kami lama-lama bisa kehilangan pelanggan,” tuturnya kepada Radar Jogja Selasa (7/11).
Volume tempe dikurangi sekitar 25 gram hingga setengah ons tiap kemasannya. Pabrik tersebut mengemas tempe dengan beragam ukuran kemasan. Yakni 130 gram, 350 gram, 550 gram, hingga 2,5 ons. “Dari 2,5 ons sekarang dikurangi sekitar setengah ons. Tapi harganya tetap Rp 3 ribu,” jelas Abdul.
Baca Juga: Harga Kedelai Impor Naik, DKUKMPP Bantul Berusaha Agar Ada Kedelai Lokal Unjuk Gigi
Dia berharap pemerintah bisa segera menekan kenaikan harga kedelai bisa stabil. Langkah yang ia harapkan adalah pemerintah menjaga stabilitas harga dengan membuat acuan harga eceran tertinggi (HET) untuk kedelai impor.
Pada 2020 lalu, lanjutnya, kenaikan harga kedelai impor berkisar Rp 9.200 per kilogram. Para produsen dan pedagang tempe dan tahu pun sudah beberapa kali melakukan aksi mogok produksi sebagai bentuk protes.
Namun, Abdul menyebut, para produsen di Jogja tidak bisa melakukan hal serupa. Apalagi mengajukan subsidi kepada pemerintah. Sebab di Jogja tidak ada Koperasi Produsen Tahu Tempe (KOPTI). “Makanya kalau mau demo juga tidak bisa karena tidak ada organisasi,” ungkapnya.
Baca Juga: Harga Kedelai Impor dari Amerika Naik, Produsen Kurangi Volume Tempe
Ditemui terpisah, Kepala Dinas Koperasi, Usaha Kecil dan Menengah, Perindustrian, dan Perdagangan (DKUKMPP) Bantul Agus Sulistyana mengatakan, pihaknya belum memiliki rencana untuk memberikan subsidi. Sebab aturan menggenai subsidi cukup rumit. Apalagi subsidi berkaitan dengan besaran uang. “Saat ini Indonesia kan baru butuh uang yang banyak untuk hal-hal lain. Seperti pemilu misalnya,” ujarnya.
Disinggung mengenai penyebab terus merangkaknya harga kedelai impor, Agus mengakui belum bisa memastikan. “Saya kurang tahu kalau itu,” ucapnya singkat.
Meski begitu, dinasnya berusaha agar ada kedelai lokal Bantul yang mampu unjuk gigi. Dengan menyiapkan ketersediaan pangan berkelanjutan melalui Sistem Resi Gudang (SRG) di Gudang SRG Niten. Di mana pengelolaannya bekerja sama dengan CV Java Agro Prima. “Sekarang sudah mulai melatih kepada petani untuk menyiapkan dan menanam benih, lalu memanennya nanti dengan kedelai Bantul,” jelasnya.
Baca Juga: KWT Rahayu Kerap Jadi Jujugan Wisman, Belajar Mengolah Kedelai Jadi Produk Makanan Modern
Dia berharap jika nantinya 700 hektare lahan bisa panen. Selain itu, pihaknya juga menyiapkan SRG yang akan menyimpan hasil panen tersebut. Ketika harga komoditas kedelai turun, petani kedelai akan mendapatkan sertifikat resi yang bisa diuangkan. “Pinjaman yang bisa diberikan kepada petani mencapai 70 persen dari total harga jual pasaran dari komoditas yang diresikan. Nantinya semua hasil penjualan bisa diambil petani sesuai kesepakatan dengan pengelola,” bebernya. (tyo/eno)