Neutron Yogyakarta

REI Sebut LSD Jadi Salah Satu Kendala Investasi Properti di DIY

REI Sebut LSD Jadi Salah Satu Kendala Investasi Properti di DIY
Ketua DPD Real Estate Indonesia (REI) DIY Ilham Muhammad Nur. (Fahmi Fahriza/Radar Jogja)
RADAR MAGELANG – Investasi properti di wilayah DIY secara umum masih cukup fluktuatif dengan beberapa persoalan yang harus disesuaikan.
Ketua DPD Real Estate Indonesia (REI) DIY Ilham Muhammad Nur mengatakan, salah satu permasalahan yang dihadapi adalah penetapan lahan sawah dilindungi (LSD).
Ilham mengungkapkan bahwa LSD yang ditetapkan oleh Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) menjadi salah satu penghambat pertumbuhan investasi properti di wilayah DIY.
“Harus diakui memang ada kendala, prosesnya jadi lebih lama karena prosedurnya jadi dobel,” katanya, Selasa (2/1).
Ilham menjelaskan, sebelumnya memang sudah ada rencana tata ruang wilayah (RTRW) di provinsi dan rencana detail tata ruang (RDTR) di kabupaten.
Kendati demikian, masih ada aturan lagi yang dikeluarkan oleh Kementerian ATR/BPN berlandaskan UU terkait ketahanan pangan, sehingga Kementerian ATR/BPN membuat regulasi LSD.
Dikatakannya, secara aturan Kementerian ATR/BPN mempunyai pemetaan LSD berdasarkan data yang dihimpun dari citra satelit.
Sementara itu, RDTR yang dibuat oleh pemerintah kabupaten juga memiliki proyeksi sendiri menyoal lahan atau kawasan pertaniannya.
“Misalnya, ada lahan yang kurang produktif, itu dianggap lahan nonpertanian. Itu bisa untuk industri, perdagangan, jasa dan bisa permukiman,” ungkapnya.
Namun, ia mengungkapkan bahwa berdasarkan dua aturan dari pemerintah daerah dan kementerian jika dibenturkan secara umum memang sering tidak sinkron.
“Kadang aturannya tidak sinkron, meski dua-duanya punya landasan UU,” imbuhnya.
Karena tidak sinkronnya aturan yang ada, ungkap Ilham, pemerintah daerah harus mengajukan permohonan kepada Kementerian ATR/BPN untuk bisa mengeluarkan lahan yang akan dijadikan lokasi investasi, lahan tersebut nantinya dikeluarkan dari LSD.
“Jadi menghambat, karena harus memohon dulu. Sebenarnya Kementerian ATR/BPN pun mengikuti apa yang diputuskan pemda, tapi prosesnya jadi lebih lama,” keluhnya.
Bahkan, dikatakannya, proses permohonan tersebut tak jarang bisa memakan waktu lebih dari satu tahun.
Hal tersebut dirasa cukup merugikan bagi para calon investor yang ingin melakukan investasi di wilayah DIY.
“Prosesnya ada yang satu tahun lebih, jadi investasinya juga menunggu sampai ada kepastian itu,” tandasnya. (iza/amd)

Lainnya

Exit mobile version