RADAR MAGELANG – Bareskrim Polri menangkap komplotan pelaku yang memproduksi narkotika jenis happy water dan keripik pisang di Dusun Pelem Kidul, Kalurahan Baturetno, Banguntapan, Bantul, Jumat (3/11) pagi. Ada lima pelaku yang diringkus pihak kepolisian terkait aktivitas produksi narkoba jenis baru itu.
Kabareskrim Polri Komjen Pol Wahyu Widada menjelaskan, terungkapnya kasus ini bermula dari kecurigaan polisi terkait perdagangan happy water dan keripik pisang secara online. Sebab, keripik pisang dan happy water tersebut dijual dengan harga yang tak masuk akal. Mulai dari Rp 1,5 juta hingga Rp 6 juta.
“Di situ juga dicantumkan harganya yang cukup tinggi. Keripik pisang kok harganya segitu dan itu sudah tidak masuk akal. Oleh karena itu kami curiga dan dilakukan tracing terhadap akun yang menjual tersebut,” katanya dalam konferensi pers Jumat (3/11).
Baca Juga: Inovasi Kundha Kabudayan Bantul, dengan Simonik Daftar NIK Bisa dari Rumah atau Sanggar
Penggerebekan di Kabupaten Bantul dilakukan setelah pihaknya mengungkap peredaran narkoba di wilayah Cimanggis, Depok, Jawa Barat. Di Depok, Bareskrim menangkap tiga tersangka karena menjual keripik pisang melalui media sosial. Tiga orang di Depok itu merupakan pemilik akun media sosial, pemegang rekening, dan penjual. Bareskrim kemudian menggerebek tempat produksi di wilayah Kaliangkrik, Kabupaten Magelang dan menangkap dua orang. Mereka merupakan produsen.
Penelusuran kemudian berlanjut di Kabupaten Bantul. Di Bantul, Bareskrim membongkar rumah produksi di Kalurahan Potorono dan Kalurahan Baturetno, Banguntapan. “Di Kabupaten Bantul kami menangkap tiga orang sebagai produsen dan penjual,” ujar jenderal polisi bintang tiga ini.
Delapan orang yang ditangkap itu memiliki tugas dan peranan masing-masing. Tersangka berinisial MAP berperan sebagai pengelola media sosial, D pemegang rekening, dan AS sebagai kurir. Lalu BS, MRE, AR, dan R sebagai pengolah. Sedangkan EH sebagai pengolah dan distributor.
Meski diproduksi di Jogjakarta dan Magelang, semua hasil produksi tetap dikirim ke luar kota untuk dijual. Pelaku pun berpindah-pindah. Wahyu menegaskan, polisi tetap akan melakukan pemantauan ketat.
Baca Juga: Uangnya Ditarik, 19 Irigasi Tersier di Bantul Gagal Dibangun Kementan Tahun Ini
Menurutnya, barang-barang yang dijual itu mudah dicurigai lantaran harganya yang mahal. Keripik pisang dengan berbagai kemasan (500 gram, 200 gram, 100 gram, dan 50 gram) dijual dengan harga mulai Rp 1,5 juta hingga Rp 6 juta. Selain itu, pelaku juga menjual happy water seharga Rp 1,2 juta. “Barang bukti yang kami sita ada 426 bungkus keripik pisang, 2.022 botol happy water, dan 10 kilogram bahan baku narkoba,” jelasnya.
Ia mengatakan, para tersangka menggunakan jenis narkoba yang sudah sering beredar di masyarakat. Hanya saja dalam praktiknya, tersangka menggunakan cara baru. Yakni dicampur dalam makanan dan cairan perasa. “Kalau narkobanya bukan jenis baru, ada sabu sama amfetamin. Tapi cara produksinya saja yang sudah tidak konvensional, dicampur dengan makanan yaitu keripik pisang dan cairan perasa,” jelasnya.
Saat ini polisi juga masih memburu empat orang lainnya yang sudah dimasukkan dalam daftar pencarian orang (DPO). Empat pelaku yang masuk DPO itu merupakan otak dari produksi narkoba kemasan baru ini.
Baca Juga: Persiba Bantul Akan Menjadi Tuan Rumah Kompetisi Liga 3
Wakapolda DIJ Brigjen Pol Raden Slamet Santoso menjelaskan, bahan pembuatan happy water dan keripik pisang terdiri atas beberapa bahan. Seperti sabu-sabu dan amfetamin. Kombinasi kedua psikotropika ini memberikan sensasi meningkatkan mood, obat perangsang, dan efek bahagia.
“Di Baturetno, rumah yang ditempati satu pelaku ini baru disewa sebulan terakhir. Pelaku memenuhi prosedur melaporkan diri, namun memang dikenal tidak bersosialisasi selama tinggal di sini,” jelasnya.
Para tersangka dikenakan Pasal 114 Ayat (2) juncto maupun Pasal 132 Ayat (1) UU RI Nomor 35 Tahun 2009 berupa pidana mati maupun pidana penjara seumur hidup atau penjara paling singkat enam tahun dan paling lama 20 tahun. Selain itu denda minimal Rp 1 miliar dan maksimal Rp 10 miliar. (tyo/laz)