Neutron Yogyakarta

Perilaku sejak 1970-an, Laron Dapat sebagai Camilan Alternatif untuk Cegah Stunting

Perilaku sejak 1970-an, Laron Dapat sebagai Camilan Alternatif untuk Cegah Stunting
INFO GRAFIS: HERPRI KARTUN

RADAR MAGELANG – Fenomena makan laron dimasak menjadi peyek laron sudah lama ada di Indonesia. Perilaku manusia memakan peyek laron itu memang sudah tidak baru lagi dan masih dilakukan hingga sekarang.

Diketahui, keluarnya laron menandai musim penghujan datang. Mereka keluar dari sarang untuk menjalani ritual kawin demi melanjutkan siklus hidup.

Laron terbang keluar dari sarang bersama koloninya, mencari pasangan yang siap kawin. Kemudian laron akan melepaskan sayapnya saat menemukan pasangan dan melakukan perkawinan.

“Konsumsi laron untuk dijadikan peyek ataupun camilan lain, sebenarnya merupakan fenomena biasa yang kerap terjadi di desa-desa di wilayah Indonesia dan berlangsung sejak lama,” ungkap sosiolog Universitas Widya Mataram (UWM) Jogja Puji Qomariyah kepada Radar Jogja  Jumat (8/12).

Baca juga: https://www.koranmagelangdigital.id/?p=6915&preview_id=6915&preview_nonce=3a9d115630&post_format=standard&_thumbnail_id=6918&preview=true

Menurutnya, berdasarkan ilmu titen di masyarakat, mereka menghindari konsumsi laron yang kali pertama keluar pada awal musim penghujan. Sebab, mereka menghindari laron dengan badan coklat gelap kehitaman.

“Pada laron berbadan coklat gelap, biasanya timbul alergi, biduren sampai ada yang merasa sedikit sakit kepala. Reaksi alergi itu sebenarnya tidak berlaku umum, hanya pada orang tertentu,”  jelasnya.

Sementara efek lain adalah sedikit sakit kepala ataupun leher yang mengencang yang menjadi tanda lain dari penumpukan kolesterol. Bisa juga bersumber dari protein lain yang menjadi campuran adonan makanan itu, misalnya telur.

Puji menilai, munculnya gejala alergi menjadi indikasi tentang kandungan protein hewani yang ada pada laron.  Lebih lanjut ia menjelaskan, berdasarkan hasil riset yang dilakukan guru besar di bidang gizi IPB bernama Ali Khomsan, masyarakat sudah mengonsumsi laron sejak 1970-an.

“Tanpa mereka sadari sesungguhnya masyarakat telah mengonsumsi protein dari sumber daya lokal yang ada di sekitarnya, di antaranya, laron, belalang, ulat daun jati dan lain-lain,” jelasnya.

Maka laron bisa menjadi alternatif sumber protein hewani karena memiliki kandungan protein tinggi. Dengan begitu bisa menjadi alternatif pencegahan stunting, mengingat kandungan protein yang ada pada serangga laron sangat tinggi.

Laron menjadi salah satu alternatif keberagaman konsumsi pangan lokal. Banyak ditemukan di sekitar masyarakat, namun seringnya terlupakan.

“Hanya saja peningkatan diverserfikasi masyarakat kian modern menjadikan mengonsumsi serangga sebagai sumber protein hewani masih dianggap tidak lazim untuk disantap menjadi menu harian,” katanya. (lan/laz)

Lainnya

Exit mobile version