RADAR MAGELANG – Meski pendapatan per bulan legislator diklaim sudah tinggi, bukan berarti tak kerawanan. Di antaranya penggalangan dana dari sumber ilegal untuk menutup biaya selama masa kampanye.
Dosen Komunikasi Politik Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) Fikri Disyacitta mengatakan dana kampanye pemilihan umum (Pemilu) diatur dalam Peraturan KPU (PKPU) Nomor 18 tahun 2023 tentang Dana Kampanye Pemilu. Disebutkan, calon legislatif (caleg) bisa mendapatkan pembiayaan kampanye dari tiga sumber.
“Tiga sumber, partai politik, harta pribadi caleg maksimal 2 miliar 500 juta dan sumbangan yang sah menurut hukum dari pihak lain, maksimal Rp25 miliar,” ujarnya, Minggu (10/12).
Fikri menyebut, caleg wajib melaporkan dana pembiayaan kampanye yang dimiliki. Pelaporannya melalui Laporan Penerimaan Sumbangan Dana Kampanye atau LPSDK.
Menurut pengamatannya, dana pribadi yang dikeluarkan caleg selama ini beragam. Mayoritas memang biaya dikeluarkan sendiri, bukan dari partai yang mengusung.
Caleg yang sudah memiliki rekam jejak sebagai petahana lebih diuntungkan karena masyarakat sudah mengenal, popularitas jelas. Jadi sudah ada basis massa yang jelas. Namun, biaya tetap harus dikeluarkan untuk merawat jaringan dan relasi. Diantaranya melalui biaya saksi di TPS, pembelian alat peraga kampanye, dan kebutuhan lainjya. “Di tingkat kabupaten, kota, provinsi, rata-rata seorang caleg membutuhkan angka Rp 1 miliar,” imbuhnya.
Fikri mengatakan, setelah caleg berhasil memenangkan pemilihan maka tidak mengenal istilah gaji pokok. Hal ini mengacu pada Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah. Anggota DPRD tidak mengenal istilah gaji pokok. Istilah yang digunakan adalah uang representasi. “Seorang anggota DPRD provinsi menerima uang representasi sebesar 75 persen dari gaji pokok seorang gubernur,” jelasnya.
Meski begitu, anggota dewan memiliki sejumlah tambahan penghasilan melalui komponen tunjangan. Diantaranya tunjangan beras, tunjangan anak hingga tunjangan jabatan.”Bisa mencapai sekitar Rp27 juta,” imbuhnya.
Apabila menilik dari jumlah pengeluaran yang dibutuhkan saat kampanye, kondisi ini bisa dikatakan riskan. Masalah ini sebetulnya sudah sering dibahas dan sudah ada sejak lama. Biaya politik di Indonesia mahal. Partai politik yang idealnya membiayai caleg, justru menyerahkan masalah pembiayaan pada caleg itu sendiri.
“Sehingga, potensi korupsi atau penggalangan dana dari sumber-sumber ilegal di kemudian hari jika terpilih rentan terjadi,” jelasnya.
Menyoal hal ini, Fikri merekomendasikan penguatan lembaga partai politik. Yakni dengan tidak membiarkan caleg mencari sendiri pembiayaan kampanye yang sangat mahal.Sebab, risiko lain seperti caleg mencari sumber pendanaan dari elite konglomerasi. “Atau istilah kerennya bohir, akan rentan menjebak caleg pada siklus politik balas budi atau klientelisme,” jelasnya. (lan/pra)