Tentunya karena berasal dari dataran tinggi, cita rasa yang dimiliki sangat unik. Tak seperti dawet lainnya.
Rasa dawet sambel tak hanya didominasi rasa manis. Beberapa rasa seperti manis, pedas, dan gurih menjadi satu. Menimbulkan sensasi dan jejak rasa pada lidah.
Untuk pertama kali, kudapan ini mungkin kurang nyaman bagi lidah.
Hal ini dimungkinkan karena kudapan ini memang dibuat berdasarkan kondisi geografis Girimulyo yang berbukit dan tentunya dingin.
Masyarakat Girimulyo membuat minuman ini agar tetap bisa menikmati kesegaran dawet dengan tetap bisa menikmati kehangatannya.
Tahun 2019, dawet sambel di tetapkan menjadi Warisan Budaya Tak Benda (WBTB). Sehingga namanya melambung.
Sudah banyak orang yang datang ke Girimulyo hanya untuk mencicipi dawet ini.
Keluarga Ponirah merupakan salah satu pembuat dawet sambel. Sejak tahun 1950 keluarga ini memproduksi dan menjual dawet ini.
Saat ini sudah bertahan selama empat generasi. Ponirah merupakan generasi kedua, yang sampai sekarang masih memproduksi dawet dengan dibantu anaknya.
“Saya sudah berjualan sejak umur 19 tahun, biasanya berjualan di Pasar Cublak setiap hari Rabu dan Sabtu,” ucap Ponirah.
Selama puluhan tahun, Ponirah terus berjualan di Pasar Cublak.
Bahkan, selama puluhan tahun ia rutin berjalan kaki sejauh 4 kilometer untuk membuka lapak di Pasar Cublak.
Saat ini Ponirah dibantu oleh cucunya, baik dalam produksi maupun berjualan.
Cucu Ponirah, Andri (generasi kedua) adalah salah satu orang yang paling berperan dalam mengangkat nama dawet sambel.
Andri mampu memanfaatkan status desa wisata, untuk mengangkat pamor dawet sambel.
Ia sempat mengikuti beberapa pameran kuliner UMKM untuk memperkenalkan dawetnya.
“Awalnya saya titipkan ke Desa Wisata Jatimulyo, terus masuk ke pameran, berlanjut hingga sampai di Gelar Potensi Desa Budaya,” ucap Andri.
Kegigihan Ponirah dan Andri, menjadikan dawet sambel naik daun. Hingga pada akhirnya dawet sambel diangkat sebagai warisan budaya.
Andri berharap dawet sambel bisa terus dicicipi generasi selanjutnya. (cr7)