RADAR MAGELANG – Penyidik Kejaksaan Tinggi (Kejati) DIJ telah menaikkan status seorang saksi Kepala Dinas Pertanahan dan Tata Ruang (Dispertaru) DIJ Krido Suprayitno (KS) menjadi tersangka kemarin (17/7). Ini dalam perkara dugaan tindak pidana korupsi pemanfaatan tanah kas desa (TKD) Kalurahan Caturtunggal, Depok, Sleman.
Kepala Dispertaru ditetapkan sebagai tersangka terkait gratifikasi yang diterimanya dari tersangka Direktur Utama PT Deztama Putri Sentosa Robinson Saalino dengan nilai Rp 4,7 miliar. Krido pun sejak kemarin langsung ditahan oleh Kejati DIJ hingga 20 hari ke depan.
Kepala Kejati DIJ Ponco Hartanto mengatakan, dalam perbuatannya telah tersangka Krido menerima gratifikasi dari tersangka Robinson Saalino berupa dua bidang tanah yang berlokasi di Kalurahan Purwomartani, Kalasan, Sleman, sekitar tahun 2022. Luasnya 600 meter persegi dan 800 meter persegi seharga total Rp 4,5 miliar.
“Gratifikasinya berwujud tanah yang membayar Robinson. Tanah SHM yang di luar TKD atau SG atas nama tersangka. Gratifikasi untuk petak pertama sekitar 600 meter persegi dan petak kedua 800 meter persegi dengan harga Rp 4,5 miliar lebih,” kata Ponco kepada wartawan di kantor Kejati DIJ, kemarin (17/7).
Ia menjelaskan, gratifikasi lain yang diterimanya berupa uang yang diserahkan secara tunai maupun transfer ke rekening bank atas nama tersangka Krido. ATM BRI atas nama istri Robinson yang diisi secara bertahap oleh Robinso yang mencapai saldo Rp 211.603.640,20. Oleh tersangka Krido digunakan untuk kepentingan pribadinya, sehingga saldo terakhir per 7 Juli 2023 sebesar Rp 3.506,20.
“Uang itu ditarik untuk kepentingan pribadi tersangka KS. Dari hasil gratifikasi atau yang diperoleh KS sementara, karena masih banyak perkembangan-perkembangan yang terjadi pada perkara mafia tanah di Caturtunggal ini,” ujarnya.
Ponco menyebut, total gratifikasi sementara yang diterima kepala dinas ini sebesar Rp 4.731.603.640. Jumlah tersebut diklaim bisa lebih besar lagi, sebab tergantung dari pengembangan tim penyidik. “Tergantung yang diperoleh dari pengembangan penyidik nanti. Nilai itu bisa lebih dari yang saya umumkan hari ini,” jelasnya.
Sementara, dari hasil gratifikasi telah disita uang tunai Rp 300 juta sebagai barang bukti di pengadilan. Menurutnya, perbuatan tersangka secara singkat, antara lain, sebagai pengawas desa namun justru bekerjasama dengan mafia tanah. Kedua telah menerima gratifikasi, kemudian adanya komunikasi aktif antara tersangka Krido dengan Robinson Saalino.
“Jadi dengan peralatan canggih itu kita kloning, hasil pembicaraannya banyak pembicaraan aktif terkait urusan masalah tanah TKD. Ini dilakukan antara tersangka KS dan Robinson,” terangnya.
Lebih lanjut Ponco memaparkan, tersangka KS selaku kepala Dispetaru DIJ mengetahui perbuatan saksi Robinson Saalino yang telah menambah keluasan lahan tanah kas desa. TKD itu disewa PT Deztama Putri Sentosa dari luasan 5.000 meter persegi menjadi 16.215 meter persegi.
“Namun tersangka KS telah membiarkannya. Padahal seharusnya tersangka KS melakukan fasilitasi dalam menjalankan kewenangan pengelolaan dan pemanfaatan tanah kasultanan dan kadipaten sesuai fungsinya,” ucapnya.
Berdasarkan Perdais Nomor 1 Tahun 2017, Dispertaru mempunyai tugas kewenangan melakukan fasilitasi dalam menjalankan kewenangan pengelolaan dan pemanfaatan tanah kasultanan/kadipaten sesuai fungsinya. Sebagaimana diatur dalam Pasal 5 Peraturan Gubernur DIJ Nomor 19 Tahun 2020 tentang Kedudukan, Susunan Organisasi, Tugas, Fungsi, dan Tata Kerja Dinas Pertanahan dan Tata Ruang (Kundha Niti Mandala Sarta Tata Sasana), yakni fungsinya yang berkaitan dengan tanah kasultanan dan tanah kadipaten. “Keterlibatan KS ini masih dalam rangkaian perkembangan penyidikan kita. Ada beberapa tempat lain selain Caturtunggal,” tambah Ponco.
Selain itu, tersangka Krido Suprayitno dan Robinson Saalino sudah saling mengenal sejak 2015 terkait jual beli tanah milik tersangka Krido di Kalitirto senilai Rp 800 juta yang dalam pembayarannya saksi Robinson Saalino telah membayarkan Rp 400 juta secara bertahap. Namun karena saksi Robinson tidak bisa melunasi, maka uang itu dianggap hangus oleh tersangka Krido.
Tersangka Krido juga sering menanyakan proyek-proyek usaha yang dikerjakan Robinson Saalino yang memanfaatkan tanah kas desa dan belum ada izin gubernur. Di antaranya proyek Tambak Boyo Condongcatur dan Jogja Eco Wisata di Candi Binangun. Sehingga Robinson Saalino merasa takut proyek usahanya terganggu, termasuk proyek Ambarukmo Green Hills di atas TKD Caturtunggal.
“Seharusnya mengawasi untuk bisa memproses izin-izin TKD yang diajukan para pemohon. Namun malah bekerjasama sehingga perbuatan tersangka KS telah merugikan keuangan negara Desa Caturtunggal sebesar Rp 2.952.002.940,” tambahnya.
Selanjutnya terhadap tersangka dilakukan penahanan selama 20 hari ke depan terhitung sejak kemarin (17/7) hingga 5 Agustus 2023 di Rutan Kelas IIA Jogjakarta. Penahanan dilakukan karena dikawatirkan mempengaruhi para saksi menghilangkan barang bukti. “Dan tentunya kita hindari untuk bisa melarikan diri guna mempercepat proses penyidikan lebih lanjut,” tambahnya.
Pasal yang disangkakan, kesatu primair Pasal 2 ayat (1) jo Pasal 18 UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang telah diubah jo UU No 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tiikor jo pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. Kemudian subsidair, Pasal 3 jo Pasal 18 UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tipikor yang telah diubah jo UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tipikor jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. (wia/laz)
Telepon Anak Buah, Pesan Innalilahi
Satu jam menjelang ditahan, Kepala Dinas Pertanahan dan Tata Ruang DIJ Krido Suprayitno menelepon seseorang. Dari lantai tiga ruang pidana khusus (pidsus) Kejaksaan Tinggi DIJ, Krido mengabarkan sesuatu kepada salah satu anak buahnya.
“Innalilahi,” ucap Krido mengawali teleponnya. Stafnya yang menerima telepon dari sambungan seluler itu terperanjat. “Ada apa Bapak. Kenapa ini,?” tanya anak buah Krido tersebut.
Dengan nada pelan, mantan camat Turi, Berbah, dan camat Depok, Sleman ini berujar singkat. “Kemungkinan saya hari ini ditahan. Tidak bisa pulang. Tolong diberesin urusan kantor ya,” pesannya.
Selepas itu telepon langsung putus. Mati. Ponsel Krido tak bisa dihubungi. Staf yang dihubungi itu mengaku lemas. Tak tahu nasib yang dialami atasannya berikutnya. Juga tidak tahu harus berbuat apa.
Sekprov DIJ Beny Suharsono tampak hati-hati merespons penetapan tersangka dan penahanan Krido. Dia menunggu surat resmi dari Kejaksaan Tinggi DIJ. Soal pejabat yang akan ditunjuk mengisi kursi yang ditinggalkan Krido, Beny tak tersedia buru-buru menjawab.
“Tunggu. Proses di kepegawaian kami sedang berjalan,” hindarnya.
Pengganti Krido rencananya akan diumumkan hari ini (18/7). “Nanti kami tunjuk pelaksana tugas (Plt),” kata mantan kepala Bappeda DIJ ini.
Di bagian lain, Kepala Seksi Penerangan Hukum Kejati DIJ Herwatan SH membeberkan hubungan Krido dan Robinson Saalino telah terjalin lama. Keduanya sudah saling mengenal sejak 2015. Krido dan Robinson terlibat jual beli tanah milik Krido di Desa Kalitirto, Berbah, Sleman. Robinson membeli tanah seharga Rp 800 juta.
Robinson telah membayarkan sejumlah Rp 400 juta secara bertahap. Namun karena Robinson tidak bisa melunasi, uang tersebut dianggap hangus oleh Krido. Dalam perkembangannya, Krido sering menanyakan proyek-proyek usaha yang dikerjakan Robinson.
Khususnya yang memanfaatkan tanah kas desa dan belum ada izin dari gubernur. Di antaranya, proyek Tambakboyo, Condongcatur, Depok, Sleman dan Jogja Eco Wisata (JEW) di Desa Candibinangun, Pakem, Sleman. Robinson merasa takut proyek usahanya terganggu, termasuk proyek Ambarukmo Green Hills di atas TKD Caturtunggal.
“Selanjutnya Robinson memberikan gratifikasi kepada Krido,” terang Herwatan. (wia/kus/laz)