RADAR MAGELANG – Tetangga kos tersangka mutilasi Waliyin menduga eksekusi korban Redho Tri Agustian tidak dilakukan di rumah kontrakan Dusun Krapyak, Triharjo, Sleman. Hal itu karena dia yang bersebelahan kos, tidak mendengar suara gaduh apa pun, saat sebelum potongan tubuh ditemukan di Kelor, Bangunkerto, Turi, Sleman.
“Menurut aku, eksekusinya enggak di sini (kos Waliyin, Red) karena tidak ada suara apa pun. Soalnya, bunyi keran air aja kedengaran. Jika eksekusi di sini, pasti ada teriakan ya (korban, Red). Pasti ada perlawanannya,” kata Reno saat ditemui di kosnya kemarin (17/7).
Namun, Reno mengaku itu hanya sebatas pendapatnya. Tentu ia tidak mengetahui secara pasti lokasi eksekusinya, karena polisi sendiri masih melakukan pendalaman. Menurutnya, seandainya memang dieksekusi di kos Waliyin, nanti akan ada reka adegan ulang.
Umumnya, reka ulang adegan dilakukan tepat di lokasi sesuai dengan aksi pelaku. Dia mengaku baru mengetahui nama Waliyin setelah terungkap kasusnya. Selama ini Reno hanya sebatas bertegur sapa dengan pria asal Kajoran, Kabupaten Magelang itu.
Hal ini karena kesibukannya yang bekerja, ditambah jarangnya bertemu dengan Waliyin. Sekalinya bertemu hanya sebentar dan sebatas bertegur sapa, setelah itu masuk kosnya lagi.
Reno menuturkan, selama kos di sampingnya, Waliyin tidak pernah membawa teman berjenis kelamin perempuan. Sebaliknya, malah pernah melihat teman pria Waliyin main ke kosnya. Namun, dia juga tidak mengenal teman pria itu.
“Sering. Sering (menginap, Red) teman cowok. Tetangga ya biasa-biasa aja kan, tidak ada unsur kecurigaan yang lain, enggak,” tambahnya.
Menurutnya, karena teman yang diajaknya seorang pria, sehingga tidak menimbulkan kecurigaan di sekitar tetangga. Kecuali jika yang diajak ke kosnya adalah lawan jenisnya, baru mengundang perhatian warga sekitar.
Meski begitu, rutinitas Waliyin mengajak teman prianya dalam sepekan tidak diketahui Reno. Namun yang pasti, beberapa kali pernah mengetahui Waliyin mengajak teman pria main ke kosnya.
Selain itu, dia juga tidak bisa memastikan apakah korban Redho pernah diajak Waliyin ke kosnya atau tidak. Hal itu karena Reno melihatnya kala malam hari, jadi tidak begitu jelas.
Datangnya yang biasa malam hari membuat teman Waliyin menginap. Reno tidak mengetahui aktivitas Waliyin, meski berdampinyan mengontrak kosnya. Penyebabnya karena pintu kos Waliyin yang terus dalam keadaan tertutup.
Dia sendiri tidak menyangka jika pada akhirnya Waliyin ditangkap polisi. Sepengetahuannya selama ini baik-baik saja, meski jarang bertemu. Di kos itu Waliyin hanya menempati sendiri saja.
“Duduk-duduk di sini (depan kos, Red) enggak pernah,” ucap Reno. Padahal depan kosnya persis ada tempat duduk yang disandarkan pada pohon ceri. Sehingga bisa dijadikan tempat sejenak untuk bersantai setelah lelah bekerja.
Diketahui sebelumnya, Direktur Reserse Kriminal Umum Polda DIJ Kombes Pol FX Endriadi mengungkapkan, korban Redho dieksekusi di kos pelaku yang berada di Kprayak, Triharjo, Sleman. Hingga kini polisi masih terus melakukan pendalaman terhadap pengungkapan kasus ini. Kasus yang dinilai cukup rumit oleh polisi. (cr3/laz)
Waliyin Dikenal Kalem dan Kerap ke Masjid
Polisi telah menangkap dua pelaku mutilasi di Sleman. Keduanya diringkus saat melarikan diri ke Bogor, Jawa Barat. Salah satu pelakunya adalah Waliyin, warga Kecamatan Kajoran, Kabupaten Magelang. Waliyin diketahui kos di Dusun Krapyak, Kalurahan Triharjo, Sleman, yang juga dipakai lokasi memutilasi korban.
Di mata warga sekitar asalnya, Waliyin dikenal kalem dan kerap ke masjid. Rumahnya terletak di RT 05/RW 02 Dusun Gatak, Sukomulyo, Kajoran. Suasananya tampak seperti biasa. Kendati begitu, terungkapnya pelaku mutilasi ini membuat warga tidak percaya dan mulai berasumsi. Tanpa berani menanyakan langsung kepada keluarga. Khawatir melukai perasaan.
Seorang tetangga bernama Sudaliyo menyebut, Waliyin bekerja di Jogja dan jarang pulang ke rumah. Hanya saat Lebaran atau Idul Adha. Namun yang dia tahu, saat di rumah Waliyin sering bertemu dengan teman-teman sebayanya. “Pas pulang juga ke masjid. Kalau malam Jumat, dia juga ikut mujahadahan,” jelasnya kemarin (17/7).
Sudaliyo mengatakan, terakhir bertemu Waliyin saat Idul Adha 2023. Waliyin hanya tinggal serumah dengan ibunya yang bekerja sebagai buruh tani. Ayahnya sudah lama meninggal dunia. Namun di samping rumahnya ada rumah sang kakak bersama istrinya. Menempel dan satu tembok. Tapi, sudah beda KK.
Dia mendapatkan informasi dari temannya saat pulang dari sawah sekitar pukul 11.00. Semula dia mengaku kaget dan tidak percaya dengan kabar itu. Mengingat Waliyin sosok kalem dan tidak pernah membuat onar di rumah. Selain itu, dia juga dikenal sebagai sosok yang ramah dengan tetangga.
Hanya saja dia tidak bisa memastikan kondisi Waliyin di rantau. Entah baik seperti di rumah atau tidak. “Kaget (mendengar kabar itu), sulit diungkapkan. Karena kalau dari postur tubuh dan tata lahir, nggak mungkin (melakukan mutilasi). Tapi, kalau di rantau kami nggak tahu,” ujarnya.
Sementara itu, Kepala Desa Sukomulyo Ahmat Riyadi membenarkan Waliyin warga Dusun Gatak. Hanya saja, Waliyin sangat jarang berada di rumah. Hanya pulang sesekali saat Lebaran dan hari-hari tertentu. “Saya klarifikasi dengan pihak keluarga dan sesepuh dusun, memang betul (pelaku mutilasi),” jelasnya.
Namun Riyadi juga tidak mengetahui betul keseharian Waliyin saat di rumah. Mengingat dia bekerja serabutan dari satu kota ke kota lain. Sehingga keberadaannya sangat jarang ditemui di kediamannya, Dusun Gatak, Sukomulyo.
Riyadi mengetahui jika Waliyin menjadi pelaku mutilasi di Sleman dari media sosial (medsos). “Si W yang rambutnya disemir (diwarnai). Pastinya terkejut mendapat informasi itu. Kami juga pasrah hukumannya seperti apa,” tandasnya. (aya/laz)
Ada Indikasi karena Cemburu Mendalam
Psikolog UGM Prof Dr Koentjoro mengatakan, mutilasi adalah salah satu cara untuk menghilangkan jejak. “Ini isu mutilasi di Jogja sering terjadi,” katanya kepada Radar Jogja kemarin (17/7).
Koentjoro menuturkan, pembunuhan dengan mutilasi dilakukan karena kebanyakan dari pelaku belajar dari kasus-kasus sebelumnya. “Ini kan semakin jelas kalau mutilasi dilakukan sebagai untuk menghilangkan jejak. Sebab kasus yang belum lama, dipotong-potong menjadi banyak dan pada waktu pemotongan mayat sudah mati,” jelasnya.
Ia melihat kasus mutilasi yang potongan tubuhnya kali pertama ditemukan di Turi, ada indikasi sang pelaku adalah persekongkolan. Tapi juga bisa jadi ada suatu kemarahan yang sangat kepada korban. Sehingga kemudian mereka memutilasi.
Menurut Koentjoro, pelaku mempunyai cukup waktu untuk memikirkan strategi mutilasi itu. Karena beberapa potongan tubuhnya ada di satu lokasi dan potongan tubuh yang lain di lokasi berbeda. Sehingga kemungkinan besar menghilangkan jejak itu sangat memungkinkan sekali. “Pembunuhannya terencana dengan baik dan itu juga cukup waktu untuk mengaturnya,” bebernya.
Koentjoro menduga, untuk motif mutilasi bisa jadi karena adanya persaingan. “Saya melihat adanya kecemburuan yang sangat. Dan bisa jadi yang orang Jakarta itu mencari orang dan meminta bantuan untuk membunuh,” bebernya.
Kemungkinan kecemburuan itu terjadi, menurut Koentjoro, mereka sudah memiliki hubungan yang sangat intim. “Kalau sudah intim, tingkat kekecewaannya kan semakin besar,” tegasnya.
Koentjoro juga menyebut diduga dari hubungan itu sang pelaku adalah yang menjadi perempuannya, sedangkan yang korban adalah laki-lakinya. “Karena perempuan itu kan main rasa ya. Ketika mereka kecewa kan bisa jadi kemarahannya sangat dalam,” bebernya.
Menurut penelitian Koentjoro, kalau organ kelamin dari korban belum ditemukan, maka itu bisa jadi mereka mempunyai hubungan. Sebab, objek kecemburuannya ada di situ. (ayu/laz)