RADAR MAGELANG – Dinas Ketahanan Pangan dan Pertanian (DKPP) Bantul angkat bicara terkait dengan tingginya harga pakan ayam yang dikeluhkan sebagian peternak. Pemkab meminta agar masyarakat memakai alternatif pakan lain seperti maggot.
Kepala DKPP Bantul Joko Waluyo mengaku, pemkab tidak bisa berbuat banyak dengan kondisi harga pakan ayam yang dinilai terlalu tinggi oleh para peternak. Sebab, penentuan harga merupakan kebijakan yang dikeluarkan oleh perusahaan atau produsen pakan ayam.”Kalau pakan sudah menjadi kewenangan perusahaan, kami tidak bisa mengatur,” tegas Joko saat dikonfirmasi Selasa (25/7/23).
Menghadapi kondisi tersebut, Joko meminta, agar para peternak bisa memanfaatkan pakan-pakan alternatif. Salah satunya adalah maggot atau larva dari Black Soldier Fly (BSF) yang bisa digunakan untuk pakan ayam.
Baca Juga: Harga Pakan Ayam Tinggi, DKPP Bantul: Bisa Pakai Maggot
Joko mengaku, pihaknya untuk saat ini juga terus menggenjot agar masyarakat untuk membudidayakan maggot. Sebab selain bermanfaat untuk pakan ternak dan ikan, kehadiran maggot juga penting untuk mengolah sampah-sampah organik.
Menurut Joko, momentum penutupan TPA Piyungan seperti sekarang juga merupakan waktu yang tepat untuk mengajak masyarakat membudidayakan maggot. Sebab larva dari serangga bernama latin Hermetia Illucens itu bisa diberi pakan limbah organik yang dihasilkan rumah tangga.”Untuk saat ini kami terus sosialisasikan tentang budi daya maggot, sehingga titiknya bisa terus bertambah,” ungkapnya.
Sementara itu, peternak ayam di Padukuhan Butuh Kidul, Triwidadi, Pajangan, Bantul Sri Hartati mengatakan, saat ini harga pakan konsentrat bisa menyentuh Rp 500 ribu per karung ukuran 50 kilogram. Harga itu belum termasuk tambahan pakan lain seperti jagung dan bekatul.
Baca Juga: Harga Pakan Ayam Tinggi, Peternak Ayam Petelur di Bantul Menjerit
Menurut Sri, tingginya harga pakan itu tidak sebanding dengan harga jual telur. Terlebih dengan adanya aturan harga pemerintah dan operasi pasar yang kemudian membuat harga telur semakin anjlok. Lalu tidak sebanding dengan operasional peternakan.”Harga jual telur kini Rp 27.500, kami kalau pasang harga tinggi-tinggi tidak boleh. Jelas itu tidak sebanding dengan operasional,” ujar Sri saat ditemui Radar Jogja.
Selain dihadapkan pada harga pakan yang tinggi, dia mengaku, banyak kendala lain yang kini dihadapi oleh para peternak. Seperti stres, penyakit putihan, dan penyakit Newcastle Disease (ND) yang membuat ayam petelur bisa mati mendadak.
Kemudian terkait dengan permintaan telur di pasaran, Sri menyebut masih cukup normal. Pihaknya mampu menjual setidaknya sampai 18 kotak atau sekitar 200 kilogram telur ayam. “Kalau untuk produksi telur ayam kami per hari bisa 70-80 kilogram itu dari 2.500 ekor ayam,” tandasnya. (inu/eno)