Neutron Yogyakarta

Atasi 16 Ton Sampah di Pasar Tradisional Pakai Bioferti

Atasi 16 Ton Sampah di Pasar Tradisional Pakai Bioferti
PENGOMPOSAN: penggunaan cairan Bioferti 2023 buatan Fakultas Biologi UGM pada proses pengomposan pada salah satu lubang biopori di Pasar Giwangan, Senin (16/10). (Alfi Annissa Karin/ Radar Jogja)

RADAR MAGELANG – Dinas Perdagangan (Disdag) Kota Jogja menggandeng Fakultas Biologi UGM dalam rangka pengelolaan sampah di pasar rakyat. Menggunakan teknologi biofetri untuk pengomposan sampah pasar.

Ketua Tim Kerja Kebersihan Keamanan Pasar Disdag Kota Jogja Kelik Novidwyanto Wibowo mengaku menerima bantuan berupa lima liter Bioferti 2023 yang merupakan racikan asli Fakultas Biologi UGM. Bioferti ini merupakan bahan pengganti EM4 yang merupakan aktivator pada proses pengomposan sampah organik. Kompos dibuat di 14 lubang biopori besar dan sembilan lubang biopori kecil yang ada di Pasar Giwangan. Selain itu juga di beberapa bak komposter. Sebelum menggunakan Bioferti, pihaknya mampu mengolah hingga 300 kg sampah organik setiap harinya. Usai Bioferti digunakan, diharapkan dapat meningkatkan volume sampah organik yang dikelola.”Klaimnya bisa mempercepat proses komposter, maksimal hanya 14 hari. Normalnya bisa 1,5 sampai dua bulan. Tapi kami belum membuktikan sendiri,” kata Kelik saat ditemui di TPS3R Pasar Giwangan, Senin (16/10).

Kompos yang telah dipanen selanjutnya digunakan sebagai pupuk tanaman yang tumbuh di sekitar Pasar Giwangan. Menurut Kelik, Bioferti 2023 milik Fakultas Biologi UGM ini mampu mendegradasi sampah organik. Di dalamnya terdiri dari kadar pupuk organik N sebanyak 2,7 persen, P sebanyak 0,62 persen, dan K 68,3 persen. Seluruhnya dinilai yang telah memenuhi standar pupuk organik. “Penggunaan Bioferti dengan perbandingan satu banding 50. Satu liter Bioferti dilarutkan pada 50 liter air,” imbuhnya.

Kelik mengatakan sampah dari 29 pasar rakyat di Kota Jogja dikelola secara terpusat di TPS3R Giwangan. Dia mencatat, produksi sampah dari seluruh pasar di Kota Jogja mencapai 16 ton perhari. Usai dilakukan pengolahan, sampah pasar yang dibuang ke TPA Piyungan tinggal tersisa maksimal 10 ton. “Ke depan akan kerja sama pengelolaan sampah organik dengan magot, tapi itu jangka panjang,” katanya.

Menurut Kelik, pedagang turut memegang peranan penting dalam proses pengolahan sampah di pasar rakyat. Salah satu pedagang buah di Pasar Giwangan, Munandar mengaku telah mengolah sampahnya dengan baik.

Dia juga telah melakukan pemilahan sampah. Biasanya, sampah dia kumpulkan dan diletakkan di lapaknya. Sampah itu nantinya akan diambil oleh petugas kebersihan pasar. Selama ini dia juga membayar biaya retribusi sebesar Rp 9 ribu. Namun, uang itu tak secara khusus diperuntukkan bagi pengolahan sampah saja.

“Kalau saya hanya sampah buah yang sudah tidak layak jual saja. Justru menumpuknya sampah ini karena banyak warga dari luar pasar membuang di sini,” ujar pedagang semangka ini. (isa/pra)

Lainnya