RADAR MAGELANG – Asisten Deputi Perlindungan Anak Kondisi Khusus Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) Elvi Hendrani menegaskan urgensi penerapan Program Sekolah Ramah Anak (SRA). Mengingat tingginya angka kekerasan anak di sekolah semakin mengkhawatirkan dari hari ke hari.
Data KemenPPPA mencatat ada 251 anak usia 6-12 tahun menjadi korban kekerasan di sekolah pada 2023. Setiap jenjang pendidikan memunculkan angka kekerasan berbeda-beda. Maka pembentukan Program SRA yang sudah digagas sejak 2015 harus segera dioptimalkan.
“Ada persoalan lain yaitu kebijakan sekolah yang berbasis hukuman. Pemutusan mata rantai kekerasan di sekolah tidak selesai, sehingga anak melakukan kekerasan. Karena terbiasa, setiap anak melakukan kekerasan itu diberi hukuman,” ujarnya pada Seminar Implementasi Sekolah Ramah Anak pada Jenjang SMP yang digagas Fakultas Geografi UGM belum lama ini.
Baca Juga: Sekolah Vokasi UGM Selenggarakan ICTSD 2023 Bahas Sustainable Development Goals
Penerapan SRA menekankan kemampuan satuan pendidikan untuk memberikan pemenuhan hak dan perlindungan khusus bagi anak. Termasuk mekanisme pengaduan terhadap permasalahan yang muncul. Setidaknya ada empat konsep SRA yang menjadi tantangan. Yakni mengubah paradigma dari pengajar menjadi pembimbing dan bagaimana orang dewasa memberikan teladan di satuan pendidikan.
Kemudian bagaimana memastikan orang dewasa terlibat penuh dalam melindungi anak. Serta memastikan orang tua dan anak terlibat aktif dalam memenuhi komponen SRA.
“Tiga pilar Sekolah Ramah Anak ini adalah anak senang, guru tenang, orang tua bahagia. Jadi seluruh aspek di sini, khususnya tiga aspek ini berperan aktif dalam melindungi anak dari kekerasan. Tidak hanya instansinya, tapi orang tua juga turut mendukung. Guru perannya juga tidak sebagai pemberi materi, tapi menjadi teladan dan pembimbing perilaku anak,” katanya.
Tidak berhenti di situ, selain kekerasan anak, ada juga ancaman lain. Di antaranya penyebaran Napza, rokok, dan radikalisme yang sudah merambah sejak tingkat sekolah dasar. Dia menilai, ancaman diperparah dengan minimnya dukungan orang tua dan guru dalam upaya pencegahan.
“Pengedar Napza ini sudah mulai bergerak waktu anak di sekolah dasar. Rawan menjadi pecandu rokok. Perokok pemula di Indonesia itu rata-rata anak SD. SMP-SMA sudah banyak yang mencandu rokok, jadi ini sangat berbahaya,” ujarnya.
Baca Juga: Wow Keren, Tiga Anak Plus Dua Menantu Menteri Basuki Lulusan UGM Semua Lho…
Sebelumnya, Kepala Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga (Disdikpora) DIJ Didik Wardaya tidak menampik banyaknya kasus kekerasan dan perundungan siswa. Salah satu upaya pencegahan adalah mendorong seluruh sekolah di DIJ segera membentuk Tim Pencegahan dan Penanganan Kekerasan (TPPK).
Tujuannya sangat jelas, agar segala bentuk bullying dan kekerasan di lingkungan pendidikan dapat dicegah, diantisipasi dan tertangani dengan baik. Hal ini sesuai Surat Edaran (SE) yang dimandatkan dalam Permendikbudristek Nomor 46 Tahun 2023 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Lingkungan Satuan Pendidikan.
“Nah masing-masing sekolah saat ini sudah membentuk tim itu, kemudian di provinsi dan kabupaten/kota juga membentuk hal yang sama,” ujarnya. (lan/laz)