Neutron Yogyakarta

Sumber Serat Kuntharatama Dinilai Lemah

Sumber Serat Kuntharatama Dinilai Lemah

RADAR MAGELANG – Tim Ahli Naskah Akademik (NA) Raperda Hari Jadi DIJ Baha’uddin akhirnya membeberkan isi Serat Kuntharatama yang ditulis GPH Buminata pada 1958. Serat Kuntharama menjadi satu-satunya bukti petunjuk Hari Jadi DIJ jatuh pada 13 Maret 1755. Momentumnya diklaim bertepatan saat Sultan Hamengku Buwono I mendeklarasikan nama kerajaannya Ngayogyakarta Hadiningrat.

Baha’uddin tak menunjukan naskah asli dari serat tersebut. Dia hanya membawa fotokopi. Sejarawan UGM itu menyebutkan Serat Kuntharama berbahasa Jawa. Dia kemudian memaparkan tulisan berbahasa Jawa di layar. Kemudian membacakan referensi lain. Yakni terjemahan Serat Kuntharatama yang memakai bahasa Indonesia.
“Asal tulisan ini dari Peringatan 200 Tahun Kota Jogja,” ucap Baha’uddin saat rapat kerja (raker) Pansus Raperda Hari Jadi DIJ di gedung dewan provinsi, kemarin (16/11).

Saat dipaparkan di layar, ternyata ada perbedaan antara kedua dokumen. Naskah pertama berbahasa Jawa dari Serat Kuntharatama menyebutkan Sultan Hamengku Buwono (HB) I singgah selama 10 hari di Hutan Beringharjo yang menjadi calon keratonnya. Dia datang didampingi sejumlah putra dan sentana. Selanjutnya, HB I meninggalkan lokasi berperang mengejar RM Said. Tak ada keterangan HB I mengumumkan nama kerajaannya. Peristiwanya tertulis 14 Maret 1755.

Baca Juga: Dispar Harap Piala Dunia U-17 Berdampak ke Sektor Pariwisata DIJ

Lain halnya dalam tulisan berbahasa Indonesia dari peringatan 200 Tahun Kota Jogja. Dalam terjemahan itu tertulis HB I mengunjungi ke calon kerajaannya dan mengumumkan nama Ngayogyakarta Hadiningrat. Peristiwanya bukan terjadi pada 14 Maret 1755. Namun pada 13 Maret 1755. Ada perbedaan satu hari.

“Perubahan itu tanggal dari 14 Maret menjadi 13 Maret kami dapat dari keterangan Rama Tirun saat rapat di ruang Sekda,” ucapnya. Rama Tirun yang dimaksud Baha’uddin adalah RM Tirun Marwito atau KRT Jatiningrat yang menjabat penghageng Tepas Dwarapura Keraton Ngayogyakarta.

Usai mendengarkan paparan Baha’uddin, anggota Pansus Bambang Setyo Martono mempertanyakan sumber yang dirujuk GPH Buminata sebagai penulis Serat Kuntharatama. Pertanyaan itu sengaja diajukan karena rentang waktu Serat Kuntharatama yang diterbitkan 1958 dan peristiwa 13 Maret 1755 berselang cukup lama. “Lebih dari dua abad. Tepatnya, berjarak 203 tahun. Sangat lama. Apakah itu bisa diyakini kebenarannya,” tanya Bambang serius.

Baca Juga: Segera Ada Tersangka Baru, Setelah Kantor Lurah Candibinangun, Kejati DIJ Geledah PT Jogja Eco Wisata

Menanggapi itu, Baha’uddin mengakui keterbatasan referensi Serat Kuntharatama. Sumbernya lebih banyak dari tradisi cerita tutur di Keraton Ngayogyakarta. Menurut dia, ada perbedaan mendasar serat atau babad yang ditulis pujangga-pujangga Keraton Surakarta dan Keraton Ngayogyakarta.
“Kalau di Keraton Jogja, pujangganya lebih banyak anonim. Beda dengan di Keraton Surakarta. Nama para pujangganya ditulis,” cerita sejarawan asal Nganjuk, Jawa Timur ini.

Secara terbuka Baha’uddin mengakui Serat Kuntharatama tidak diketahui siapa nama penulis sesungguhnya. Pangeran Buminata bertindak sebagai penggubahnya. Dikatakan, tradisi menulis babad di Keraton Ngayogyakarta baru terjadi di era HB II. Kemudian secara masif berkembang di masa HB V.

Situasi Jawa, lanjutnya, dalam keadaan perang antara 1755 hingga 1757. Keadaan mulai kondusif setelah ditekennya Perjanjian Salatiga 17 Maret 1757 yang mengangkat RM Said menjadi KGPAA Mangkunegara I. “Semula RM Said ini menantu HB I kemudian keduanya terlibat persaingan,” kata alumni S1 UGM 1998 ini.

Baca Juga: Segera Ada Tersangka Baru, Setelah Kantor Lurah Candibinangun, Kejati DIJ Geledah PT Jogja Eco Wisata

Tentang keberadaan naskah asli Serat Kunthatama, Baha’uddin menyebut tersimpan di Tepas Widya Budaya Keraton Ngayogyakarta. Informasi soal deklarasi nama Ngayogyakarta Hadiningrat ada di halaman 78 serat tersebut.

Baha’uddin kembali mengungkapkan, minimnya sumber-sumber maupun bukti tertulis dari Serat Kuntharatama. Di antaranya, bila merujuk catatan Belanda maupun Babad Giyanti karya Yasadipura di Keraton Surakarta tidak ditemukan keterangan adanya peristiwa 13 Maret 1755. Itu karena sumber-sumber seperti catatan harian Direktur VOC Nicholas Hartingh hanya melaporkan sejumlah kejadian yang dihadiri orang-orang Belanda.

Setelah pertemuan Jatisari 15 Februari 1755 yang diikuti Susuhunan Paku Buwono (PB) III dan Sultan HB I, Hartingh tidak lagi mencatat peristiwa-peristiwa sesudahnya. Begitu pula dengan tulisan karya Yasadipura.

Baca Juga: Mayoritas Fraksi Balik Haluan, Dulu Tolak Perda Hari Jadi DIJ, Sekarang Setuju

Menanggapi itu, anggota pansus lainnya Boedi Dewantoro mengingatkan kekuatan pembuktian dokumen. Secara hukum fotokopi tak dapat dijadikan sebagai alat bukti. Dalam pembuktian harus naskah asli. “Kalau fotokopi sebagai bukti sangat lemah,” sindir alumni FH UGM ini.

Boedi mengingatkan, sejumlah risiko yang harus dihadapi. Jarak waktu peristiwa 13 Maret 1755 dengan penulisan Serat Kuntharatama terpaut 200 tahun. Hal itu perlu pertimbangkan secara matang. “Perlu kehati-hatian karena pertanggungjawabannya berat,” ingatnya.

Wakil ketua DPRD DIJ periode 1999-2004 ini kemudian mengajak mencari solusi. Caranya dengan mencari pembanding dan sumber-sumber lain yang lebih kuat. Di antaranya, dengan mengecek naskah-naskah asli yang tersimpan di Museum Leiden, Belanda. “Pansus perlu mempertimbangkan ke Leiden,” katanya.

Baca Juga: Dalam Rangka Kuatkan Sinergitas, Wakapolda DIJ Terima Audiensi Kamenkumham RI

Ajakan pansus ke Leiden saat raker hari pertama Senin (13/11) juga sempat dilontarkan Baha’uddin. Mendengar gagasan melawat ke Leiden ituj, Ketua Pansus Muhammad Yazid tak keberatan. Dia sepakat dengan gagasan itu. Sebelum ke Belanda, Yazid mengusulkan pansus lebih dulu berkunjung ke Tepas Widya Budaya Keraton Ngayogyakarta. “Kita lihat naskah asli Serat Kuntharatama,” pintanya.

Jalannya raker pansus hari ketiga tak banyak dihadiri pejabat teras Pemprov DIJ. Kepala Biro Tata Pemerintahan KPH Yudanegara yang sebelumnya rajin, kemarin hingga raker selesai belum terlihat di gedung dewan. Tak ada pejabat eselon dua. Selain Baha’uddin, duduk di deretan kursi terdepan dua orang perwakilan dari Keraton Jogja, dan Kabag Perundang-undangan Biro Hukum Setprov DIJ Reza Agung Dwi Kurniawan. (kus/laz)

Lainnya