RADAR MAGELANG – Waliyin dan Ridduan menjalani sidang perdana kasus pembunuhan disertai mutilasi terhadap mahasiswa Fakultas Hukum UMY Redho Tri Agustian di Pengadilan Negeri (PN) Sleman, Rabu (22/11). Ruang sidang dipadati pengunjung yang ingin mengikuti jalannya persidangan kasus ini. Majelis hakim diketuai Cahyono dengan anggota Edy Hantonno dan Hernawan.
Pantauan Radar Jogja di lokasi, kursi pengunjung sudah penuh diisi para pengunjung sidang. Agenda sidangnya pembacaan dakwaan dari jaksa penuntut umum (JPU). Sejumlah petugas dari PN Sleman dan kepolisian bersiaga untuk menjaga keamanan. Kedua terdakwa mengenakan rompi tahanan warna orange. Ridduan memakai kacamata dan peci hitam, sedangkan Waliyin tidak. Keduanya sama-sama mengenakan baju putih.
JPU yang hadir yakni Hanifah dan Evita Christin Pranatasari.
Surat dakwaannya dibacakan oleh Evita. Sementara itu kedua terdakwa ditemani oleh penasihat hukumnya (PH) Sri Karyani.
JPU Evita menyampaikan, berawal pada Minggu (9/7) terdakwa Ridduan mendapat pesan dari grup Facebook Bondage Dominance Sadism dan Masochism (BDSM). Dalam pemaparannya, dikatakan BDSM bentuk penyimpangan seksual berhubungan dengan kekerasan ikatan perbudakan. Serta adanya permainan antara budak dan tuan. Nantinya ada yang berperan sebagai budak atau yang dianiaya atau kekerasan.
Pesan yang diterima Ridduan dari akun bernama GP yang mengaku sebagai slave. Adapun slave sendiri adalah sosok yang berperan dianiaya atau menerima kekerasan. “Pesannya meminta terdakwa dua (Ridduan, Red) untuk menjadi master yang berperan menganiaya atau yang melakukan kekerasan. Selanjutnya, terdakwa dua menghubungi terdakwa satu (Waliyin, Red) yang juga satu grup BDSM. Permainannya di kos terdakwa satu di Triharjo, Sleman,” paparnya.
Dari situlah akhirnya Ridduan berangkat ke Jogja dari Jakarta pada Senin (10/7). Keberangkatannya didasarkan pada persetujuan Waliyin sebagai pemilik kos yang digunakan untuk melancarkan aksinya. Setibanya di Jogja, Ridduan dijempat oleh Waliyin dan menuju ke kosnya di Dusun Krapyak, Triharjo. Pada malam harinya, korban Redho dijemput Waliyin di kosnya daerah Ngebel, Tamantirto, Kasihan, Bantul. Di saat yang bersamaan Ridduan menunggu di kos.
Setibanya Redho di kos, Waliyin pergi meninggalkan Redho dan Ridduan berduaan. Selanjutnya, Ridduan dan Redho ke kamar tengah untuk melakukan scene demi memuaskan nafsu birahi terdakwa dua mengikat tangan dan kaki korban dengan tali pramuka warna putih ditambah lakban cokelat. Selain itu, mulut Redho ditutup lakban yang sudah disiapkan sebelumnya.
Dalam posisi korban berdiri menempel di dinding, terdakwa dua memukulinya di bagian perut dan dada dengan tangan mengepal secara bergantian selama kurang lebih 15 menit. “Korban merasa kesakitan, lalu terdakwa dua istirahat memukul sambil mengelus perut korban dan terdakwa dua merasakan nafsu birahinya bergairah. Lalu terdakwa dua kembali lagi memukul dada dan perut beberapa kali hingga korban terjatuh,” tambah Evita.
Setelah itu, Ridduan menghubungi Waliyin dan menyampaikan jika sudah selesai melakukan scene-nya. Setibanya terdakwa satu, Ridduan sempat mengecek leher korban dan merasakan masih ada denyut nadinya.
Mendapati korban tidak bergerak, Waliyin menaikkan nafsu birahinya dengan menonton video scene peragaan BDSM fetish sembelih yang tersimpan di ponselnya. Video yang ditontonnya merupakan aksinya dengan orang lain. Selain itu, terdakwa satu teringat dengan film mutilasi kanibal 2006. Dari situ Waliyin mengajak Ridduan untuk menyembelih korban dan disetujuinya.
Redho yang sudah tidak berdaya, digotong oleh kedua terdakwa secara bersama-sama ke kamar mandi. Tubuhnya diletakkan di atas meja kecil dengan posisi telungkup. JPU Evita mengungkapkan, jika saat itu kedua terdakwa dapat mengurungkan niatnya untuk menyembelih korban. Namun, tidak terlaksana, malah tetap menyembelih lehernya dengan golok yang tajam. Kedua terdakwa menyembelih Redho secara bersama-sama. “Bahwa saat menyembelih leher korban Redho, Waliyin merasakan gairah rangsangan birahi,” tambahnya.
Potongan tubuh korban disebutkan ada yang direbus dengan tujuan untuk menghilangkan barang bukti. Setelah itu, kedua terdakwa membuang potongan tubuh korban ke sejumlah daerah di Sleman. Di antaranya beberapa wilayah di Kapanewon Turi. Setelah selesai membuang, Ridduan balik ke Jakarta dengan menggunakan kereta api.
Dalam dakwaan primair, kedua terdakwa didakwa Pasal 340 KUHP juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1KUHP sebagai orang yang melakukan, yang menyuruh melakukan atau turut serta melakukan perbuatan dengan sengaja dan dengan direncanakan terlebih dahulu menghilangkan jiwa orang lain. Sedangkan dakwaan subsidairnya ialah Pasal 338 KUHP juncto Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP sebagai orang yang melakukan, yang menyuruh melakukan atau turut serta melakukan perbuatan penganiayaan yang menjadikan matinya orang lain. Selain itu, didakwa juga dakwaan lebih subsidair Pasal 351 Ayat (3) KUHP juncto Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP sebagai orang yang melakukan, yang menyuruh melakukan atau turut serta melakukan perbuatan dengan sengaja menghilangkan jiwa orang lain.
Baca Juga: Besok, Kasus Mutilasi Mahasiswa UMY Disidangkan, Empat Jaksa Kawal selama Persidangan
Usai dibacakan dakwaannya, Ketua Majelis Hakim Cahyono memberikan kesempatan kepada kedua terdakwa untuk berkomunikasi dengan penasihat hukumnya Sri Karyani. Dari dakwaan jaksa, terdakwa Waliyin dan Ridduan tidak membantahnya dan tidak berencana mengajukan eksepsi. “Sudah benar. Jadi tidak mengajukan eksepsi atau keberatan,” ujar Sri Karyani. (rul/laz)