RADAR MAGELANG – Dampak tingginya harga kedelai seperti sekarang sangat dirasakan oleh perajin tempe dan tahu di Jogjakarta. Bahkan tidak menutup kemungkinan para perajin akan mengurangi ukuran atau menaikkan harga komoditas berbahan dasar kedelai tersebut.
Ketua Pusat Koperasi Tempe-Tahu Indonesia (Puskopti) DIJ Tri Harjono mengatakan, para perajin tahu dan tempe sejatinya memang sudah terbiasa dengan harga kedelai yang fluktuatif. Sehingga yang dapat dilakukan hanya mengurangi ukuran atau menaikkan harga.
Tri mengaku, untuk saat ini para perajin memang belum melakukan dua hal tersebut lantaran harga kedelai masih dalam batas wajar. Yakni Rp 12.050 ribu per kilogram (kg). Perajin dapat mengurangi ukuran atau menaikkan harga tahu dan tempe ketika melebihi batas tersebut.
“Harga keekonominisan kedelai itu sekitar Rp 10 ribu sampai 11 ribu per kg idealnya, kalau harganya lebih dari Rp 12 ribu pasti kita kurangi ukuran tahu dan tempenya,” ujar Tri Kamis (23/11).
Lebih lanjut, Tri menyatakan, bahwa perajin tahu-tempe di Jogjakarta sampai saat ini memang masih mengandalkan pasokan kedelai impor. Lantaran untuk kedelai lokal ketersediaannya cukup minim dan lebih banyak dialokasikan untuk benih.
Dari segi rasa, menurtunya kedelai lokal lebih unggul jika dibuat menjadi tahu dan tempe. Namun dari segi volume, lebih unggul kedelai impor atau tahu dan tempe yang dibuat cenderung lebih mengembang. “Konsumsi kedelai se-DIJ tiap kabupaten sekitar 150 ton per bulan dan itu impor semua,” beber Tri.
Baca Juga: Tersandera Kedelai Impor, Perajin Perkecil Ukuran Tahu Tempe
Sementara itu, Sekretaris Jendral Forum Tempe Indonesia (FTI) Muhammad Ridha menyampaikan, naik turunnya harga kedelai dipengaruhi banyak faktor. Di antaranya karena kurs rupiah terhadap dolar, biaya logistik, dan harga kedelai itu sendiri.
Menyikapi hal itu, Ridha meminta agar para perajin kompak menjaga margin. Yakni dengan tidak menurunkan harga tempe ketika harga baku atau kedelai mulai mengalami penurunan.
“Yang terjadi di lapangan saat harga baku turun perajin beramai-ramai menurunkan harga. Sehingga saat kedelai naik perajin lagi-lagi berteriak, perlu edukasi tentang menjalankan bisnis agar bisa survive,” tutur Ridha. (inu/eno)