Neutron Yogyakarta

Pakar Politik UGM Sebut Biaya Politik Mahal dan Diterima Bersama

Pakar Politik UGM Sebut Biaya Politik Mahal dan Diterima Bersama
Pakar politik Fisipol Universitas Gadjah Mada (UGM) Mada Sukmajati.Wulan Yanuarwati/Radar Jogja

RADAR MAGELANG – Pakar politik Fisipol Universitas Gadjah Mada (UGM) Mada Sukmajati menilai biaya politik Indonesia mahal. Apalagi biaya tersebut dikeluarkan sendiri oleh kandidat calon legislatif.

“High cost politic ya, biaya politik tinggi yang harus dikeluarkan oleh kandidat karena alih-alih partai yang memberi kontribusi kepada kandidat. Ini justru kandidat yang memberi kontribusi kampanye partai politik,” tegasnya Minggu (3/11/2023).

Kisaran anggaran yang dikeluarkan kandidat secara pribadi minimal Rp 500 juta – Rp 750 juta untuk caleg DPRD kabupaten maupun kota. Sedangkan untuk caleg DPRD Provinsi minimal kisaran Rp 1 miliar-Rp 2 miliar. Dan untuk DPR RI minimal kisaran Rp 3,5 miliar.

“Ada yang bilang terlalu murah. Ya mungkin angka itu cukup fear. Kalau kasar ya antara Rp 1 miliar untuk DPRD kabupaten/kota kemudian Rp 3 miliar provinsi dan di atas Rp 3 miliar untuk DPR RI,” ujarnya.

Baca Juga: Pakar Politik UGM : Pemilih Muda Moody Gampang Berubah

Kondisi yang terjadi, Mada menyebut model pembiayaan kampanye lebih banyak berbasis pada kandidat bukan pada partai politik. Karena memang secara riil yang berkompetesi bukan antar partai tapi antar kandidat. Bahkan kandidat masih dalam satu partai.

“Itu yang terjadi sehingga high cost politic, kemudian pendanaan bersumber kepada kandidat, bukan lagi kepada partai (yang) hanya kontribusi sedikit saja,” ujarnya.

Meskipun sudah ada kampanye yang difasilitasi oleh negara namun kecenderungan para kandidat untuk memperbanyak kampanye melalui dana sendiri semakin besar. Sehingga pada akhirnya kompetisi itu menjadi kurang setara.

“Karena kalau kita bicara seperti ini kan, kita bisa katakan kandidat dengan sumber keuangan yang lebih besar yang kemudian bisa menyediakan banyak alat peraga kampanye,” jelasnya.

Baca Juga: ESDS Karya Mahasiswa UGM, Bisa Deteksi Stunting Lebih Cepat

Kondisi yang terjadi memang seperti itu. Dan hal ini diperparah dengan penerimaan besama. Sebab usulan untuk melakukan revisi undang-undang terkait perbaikan kualitas dana kampanye tidak pernah direspon oleh pembuat kebijakan, dalam hal ini ialah DPR RI yang notabene mereka ialah pihak yang diatur.

“Intinya ya desain kita memang seperti ini, bahwa politik harus mahal, kandidat yang memiliki sumber daya keuangan lebih banyak bisa berkampanye lebih optimal ketimbang mereka yang tidak,” ujarnya.

“Dan dengan cara itu sebenarnya desain kita mengarah kepada, nanti yang terpilih orang dengan sumber daya yang lebih tinggi daripada yang lebih rendah,” lanjutnya.

Baca Juga: UGM Kembangkan Gameltron Generasi Kedua

Lebih lanjut Mada mengatakan, laporan dana kampanye menempatkan partai politik (parpol) sebagai subjek. Sebab peserta pemilu di dalam Undang-undang ialah parpol, bukan individu maupun kandidat.

“Tetapi dalam praktiknya yang mengeluarkan anggaran kampanye itu adalah kandidat, padahal yang harus membuat laporan itu partai politik,” imbuhnya.

Alhasil, Mada menyebut biasanya partai politik bertanya kepada para kandidat jumlah pembiayaan. Dan itu pun tidak semua kandidat dimintai keterangan. Biasanya yang ditanyai ialah kandidat yang terlihat memiliki banyak peraga kampanye yang banyak dan mencolok saja.

Baca Juga: Disebut Lakukan Intervensi Studium Generale Bersama Anies Baswedan di UGM, Ini Jawaban Kapolda DIY

Sedangkan kandidat juga terkadang tidak sepenuhnya melaporkan. Komitmen mereka dalam melaporkan anggaran juga tidak sepenuhnya ada. Berkaca pada pemilu sebelumnya, banyak kandidat yang tidak melaporkan secara akurat.

“Itu yang kemudian kualitas laporan dana kampanye kita belum ideal, artinya laporan dana kampanye tidak mencerminkan realita sebenarnya dari pembiayaan kampanye yang dikeluarkan oleh kandidat,” jelasnya. (lan/laz)

Lainnya

Exit mobile version