Neutron Yogyakarta

Buang Sial, Larung ‘Ade Armando’ ke Gajah Wong

Buang Sial, Larung ‘Ade Armando’ ke Gajah Wong
LARUNG SUKERTA: Permintaan Maaf melalui Video Dinilai Belum Cukup Komunitas budaya Patembayan Nusantara menggelar aksi budaya melarung sosok mengenakan keranjang sampah berwajah Ade Armando.GUNTUR AGA TIRTANA/RADAR JOGJA

RADAR MAGELANG – Kemarahan warga Jogja atas pernyataan politikus PSI Ade Armando yang menyebut politik dinasti di Jogjakarta belum berakhir. Setelah melakukan unjuk rasa ke kantor DPW PSI DIJ, Selasa (5/12) giliran menggelar laku budaya di Kali Gajang Wong, Gambiran, Umbulharjo, Kota Jogja.

Aksi berupa larung sukerta ini dilakukan oleh Kelompok Patembaya Nusantara Jogjakarta. Koordinator acara Pedro Indarto mengatakan, larung sukerta merupakan upaya bagaimana cara orang Jogja melawan. Mereka melarung kedunguan hati dan nalar terhadap konstitusi maupun terhadap sejarah Jogjakarta.

“Prosesi awal, kami melakukan suluk dan tetembangan dilanjutkan turun ke Kali Gajah Wong. Diiringi prosesi tarian dan ditutup dengan larungan. Terdapat persofinikasi pemikiran Ade Armando, pemikiran itu dinilai akan membawa Jogja menjadi tidak asyik,” ujarnya di selam aksi.

Baca Juga: Dua Hari Tak Tentukan Sikap soal Ade Armando, Akan Sweeping Simbol Partai PSI di DIY

Kegiatan ini diharapkan menjadi spirit bagi warga Jogjakarta, kelompok intelektual dan para penegak hukum untuk melakukan langkah tepat dan terukur sesuai regulasi. Masyarakat Jogja yang istimewa, dengan laku ini semoga memahami sepenuhnya bahwa ada sebuah masalah di tingkat nasional.

“Kami melawan dengan cara kami. Lawan Ade Armando, jika perlu laporkan sesuai dengan regulasi yang ada,” tandas Pedro. Foto-foto Ade Armando pun diletakkan di sebuah tong sampah yang dibuat sedemikian rupa dan dipakai salah satu peserta larung.
Hal itu sebagai simbol energi negatif atau pengaruh buruk bagi masyarakat Jogja. Setelah berjalan dengan diarak oleh peserta larung dan penari yang mengenakan hiasan baju dominan putih, tong sampah dengan foto Ade Armando itu dilarung di sungai.

Hal itu dimaknai dengan penghilangan atau pembuangan energi negatif dan pemikiran yang jahat.  “Larung sukerta menjadi sebuah pendidikan bagi masyarakat dan menyadarkan untuk bergerak dengan kebudayaan. Larung sebagai simbolisasi membuang sukerta atau sampah sebagai perlambang kekotoran atau hal negatif,” tandasnya.

Baca Juga: Tak Masalah, Sultan Hamengku Buwono X Tanggapi Ade Armando soal Politik Dinasti

Terkait video permintaan maaf Ade Armando, Pedro menyampaikan hal itu dinilai kurang gentle dan kurang pas. Harusnya Ade Armando berani minta maaf secara langsung kepada Sultan HB X selaku gubernur dan raja keraton, serta warga DIJ. “Seharusnya secara langsung. Kalau hanya lewat video saja, kami juga bisa,” ujarnya.

Salah seorang penari dalam prosesi larung sukerta, Ajeng Mitayani menambahkan, tarian itu untuk memohon dan berdoa agar dilindungi dari energi negatif. Berharap warga Jogja bisa nyawiji untuk menghilangkan toxic atau racun yang ada di sekitar.

Alasan ritual dilakukan di sungai karena air merupakan salah satu elemen dari kehidupan. Tujuannya agar supaya lebih menyatu dengan alam, sehingga lebih dekat dengan sang penciptanya.

“Penggunaan kostum yang dominan putih menyimbolkan suatu niat dan keinginan hati yang suci untuk tujuan baik. Untuk penggunaan dupa karena aromanya yang khas, diharapkan dapat mengantarkan para peserta ke titik fokus untuk melakukan ritual ini,” jelasnya. (cr5/laz)

Lainnya

Exit mobile version