Neutron Yogyakarta

Temukan Arca Ganesha, Miris Artefak Dijadikan Tempat Jemuran

Temukan Arca Ganesha, Miris Artefak Dijadikan Tempat Jemuran
Dokumentasi Komunitas Kandang Kebo Budhe Maria Tri Widayati, Pendiri sekaligus Ketua Komunitas Kandang Kebo sast ditemui di Markas pada Jumat (8/12/2023). Agung Dwi Prakoso/ Radar Jogja

RADAR MAGELANG – Di Sleman ada sebuah komunitas yang bergerak untuk menjaga dan melestarikan cagar budaya. Komunitas tersebut bernama Kandang Kebo yang markasnya berada di Ngaliyan, Widodomartani, Ngemplak, Sleman.

Ketua sekaligus pendiri Komunitas Kandang Kebo, Maria Tri Widayati menyampaikan,

kandang kebo berdiri di 2015. Awalnya hanya di grup FB pecinta cagar budaya dari berbagai daerah. Kandang kebo mempunyai anggota inti sejumlah 30 orang. “Untuk yang di luar yang sering kumpul ikut agenda  rutin kandang kebo sekitar 150-an,” ujarnya saat ditemui di markas Komunitas Kandang Kebo pada Jumat (8/12).

Pada 2018, Kandang Kebo menjadi bagian penting dalam penemuan artefak bersejarah di Indonesia yaitu penemuan arca Ganesha. Yang diduga arca terbesar se-Indonesia. Penemuan tersebut didapatkan melalui sumber laporan Belanda yang di baca oleh Yosi salah satu anggota Komunitas Kandang Kebo.  Posisi arca tersebut di jurang yang dalam di desa Sambirejo dekat situs Gupolo. Di balik semak yang rimbun ternyata terdapat arca Ganesha berukuran besar. “Itu kalau masih utuh bentuknya, menjadi arca Ganesha paling besar se Indonesia,” tandasnya.

Komunitas Kandang Kebo melestarikan cagar budaya dengan cara mengedukasi dan mengenalkan masyarakat. Komunitas Kandang kebo lebih fokus pada kunjungan-kunjungan ke cagar budaya dengan istilah ‘cagar budaya marjinal’. Cagar budaya marjinal adalah cagar budaya yang belum secara resmi terdaftar atau ditetapkan oleh lembaga terkait.”Biasanya yang kami kunjungi dengan kondisi yang memprihatinkan. Situs diduga cagar budaya tersbut belum ada penjaganya. Bahkan artefak- artefak ada yang dialihfungsikan jadi jemuran ataupun sampah,” ujarnya

Mereka mengajak masyarakat untuk membersihkan, menjaga dan terus merawat situs tersebut. Sosialisasi perihal pelarangan menjual artefak juga disampaikan.  Karena banyak yang ngaku-ngaku dari lembaga pemerintah resmi yang mau mengambil artefak tersebut. “Makanya kami sangat menekankan kepada masyarakat jika ada orang yang mau mengambil tanpa membawa surat resmi dan berita acara jangan diperbolehkan,” tuturnya.

Bendahara Komunitas Kandang Kebo, Achid Zamroji juga menambahkan, untuk menjaga situs sejarah Komunitas Kandang Kebo juga mewajibkan anggotanya dengan istilah ‘Patroli cagar budaya’. Patroli cagar budaya tersebut adalah gerakan untuk memonitoring sebuah artefak untuk memastikan tetap aman dan bersih di tempatnya.

“Anggota Kandang Kebo berlatar belakang pekerjaan  yang bervariasi seperti sales, guru dan lain-lain. Mereka diminta untuk menyempatkan menengok walaupun sebentar saat pulang atau berangkat bekerja,” ujarnya.

Naskah-naskah kuno, peta kuno ataupun laporan-laporan Belanda zaman dulu yang menjadi sumber acuan referensi mereka untuk menziarahi sebuah situs cagar budaya marjinal. Tujuan utama mereka bukanlah mencari atau menemukan. Tapi fokusnya adalah menjaga yang sudah ada agar terawat dan tidak hilang dari tempatnya.

Asal usul nama Kandang Kebo sendiri berasal dari ketidak sengajaan. Seiring berjalanya waktu ternyata hewan Kerbau (Kebo) juga menjadi simbol hewan yang paling bijaksana dan disucikan di berbagai daerah di Indonesia. “Harapanya meskipun dianggap kebo yang bodo longa longo tapi kita masih mau berusaha untuk belajar,” tandasnya. (cr5/pra)

Lainnya