Neutron Yogyakarta

Jawa Tengah Terima 49.920 Kasus Kekerasan Berbasis Gender

Jawa Tengah Terima 49.920 Kasus Kekerasan Berbasis Gender
Foto: Veryanto Sitohang

RADAR MAGELANG – Kasus kekerasan berbasis gender (KBG) di Indonesia terbilang tinggi. Berdasarkan data dari Komnas Perempuan pada 2022, ada 10 provinsi dengan jumlah penanganan kasus paling banyak.

Bahkan, Jawa Tengah menempati posisi ketiga, yakni sebanyak 49.920 kasus.

Posisi pertama diduduki oleh Provinsi Jawa Barat dengan jumlah penanganan kasus sebanyak 61.139.

Lalu, posisi kedua adalah Provinsi Jawa Timur, yakni 53.861 kasus. Jumlah itu merupakan hasil penanganan dari Komnas Perempuan, Badan Peradilan Agama (Badilag), maupun lembaga layanan.

Komisioner Komnas Perempuan Veryanto Sitohang menuturkan, tingginya angka KBG, khususnya terhadap perempuan itu, tidak selalu berdampak buruk. Namun, hal itu harus tetap menjadi atensi.

“Ketika kasus tinggi, ada kemungkinan bahwa korban memiliki kepercayaan untuk melaporkan kasus itu,” ujarnya di Untidar, Kamis (14/12).

Baca Juga: Pasokan Pangan DIY Jelang Nataru Aman, Tapi Ada Perbedaan Gejolak Harga Tiap Wilayah, Ini Alasannya…

Dengan kata lain, lanjut Veryanto, para korban percaya jika kasusnya akan diproses.

Apalagi kini sudah ada sejumlah lembaga layanan yang memberikan pendampingan terhadap perempuan korban kekerasan.

Jika dibandingkan dengan provinsi lain yang kasusnya tidak tinggi, ada beberapa kemungkinan. Satu di antaranya, para korban tidak memiliki tempat untuk mengadu.

Tidak ada orang atau lembaga layanan yang bisa mendokumentasikan kasus itu.

Dia pun selalu mendorong Pemprov Jateng untuk melakukan berbagai upaya agar bisa melindungi, mencegah, serta menangani kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan.

“Misal, dengan membuat peraturan daerah secara khusus hingga memberikan layanan. Seperti untuk visum, membentuk UPT Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA),” sebutnya.

Baca Juga: Perkelahian Sengit di Bangjo Badran, Yogyakarta: Pengendara Motor vs Mobil, Tabrakan hingga Baku Hantam…

Hal itu, lanjut dia, sudah tertuang dalam UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) dan mesti ditindaklanjuti oleh pemerintah daerah.

Supaya ketika kasusnya tinggi, korban yang melaporkan paham betul dengan siapa dia akan mendapatkan pendampingan.

Dengan begitu, hak para korban kekerasan itu bisa dipenuhi dengan baik. Sehingga secara tidak langsung dapat mencegah timbulnya korban-korban baru.

Masyarakat pun semakin sadar bahwa kekerasan terhadap perempuan tidak boleh ditoleransi. Justru harus dicegah.

Dia berharap, untuk perempuan yang menjadi korban kekerasan, harus berani untuk bicara dan melaporkan kasusnya.

Baca Juga: Ambil Sikap! Puma Putus Kontrak Kerjasama dengan Timnas Sepak Bola Israel

“Kalau misal dia tidak memiliki kemampuan untuk melaporkan kasusnya sendiri, dia boleh mengakses lembaga layanan di berbagai platform digital sudah ada atau melaporkan ke Komnas Perempuan,” terang Veryanto.

Dia menegaskan, sudah ada UU TPKS yang bisa melindungi perempuan. Ketika diimplementasikan dengan baik, korban akan semakin percaya diri untuk melaporkan kasusnya.

Sehingga pemenuhan hak korban atas penanganan, perlindungan, dan pemulihan bisa diwujudkan.

Hanya saja, tidak dipungkiri, masih banyak korban yang diam dan tidak melaporkan kasusnya. Jika itu terjadi, dia khawatir, penderitaan korban justru semakin panjang.

Potensi kasus serupa juga bisa terjadi. “Kalau misal dalam 21 tahun, Komnas Perempuan mencatat lebih dari 3,8 juta kasus kekerasan terhadap perempuan, bisa saja angka yang terjadi melampaui angka 3,8 juta,” bebernya.

Baca Juga: Xbox Cloud Gaming Membawa Era Baru bagi Pengalaman Gaming di Meta Quest VR

Mirisnya, aparat penegak hukum belum terlalu maksimal menggunakan atau mengimplementasikan UU TPKS. Hal yang sama juga datang dari pendamping di lembaga layanan.

Padahal, dalam Kampanye 16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan di 2023 ini, sebetulnya menyasar aparat penegak hukum.

Veryanto menjelaskan, para penegak hukum seharusnya dapat mengimplementasikan UU TPKS dalam penanganan perkara.

Termasuk juga memastikan bahwa lewat pendekatan hukum, hak-hak korban kekerasan bisa dipenuhi dengan baik.

Hanya saja, berdasarkan komunikasi Komnas Perempuan dengan para aparat penegak hukum, khususnya kepolisian, mereka menyebut bahwa belum semua aparaturnya memahami bagaimana cara menggunakan UU Nomor 12 Tahun 2022 itu.

Baca Juga: Korban Longsor Candirejo, Semin Tempati Rumah Baru Bantuan Pemkab Gunungkidul

“Selain itu, mereka juga memiliki keterbatasan dalam sumber daya karena polisi wanita (polwan) masih terbatas,” jelasnya.

Tidak heran jika sejumlah daerah ketika ada kasus kekerasan seksual, mereka tidak menggunakan polwan sebagai aparatur yang menangani kasus itu.

Padahal, lanjut Veryanto, kehadiran polwan bisa berdampak terhadap kemampuan korban untuk menyampaikan persoalannya.

Karena itu, Komnas Perempuan selalu menyampaikan agar Polri segera membentuk Direktorat PPA serta peraturan soal kekerasan terhadap perempuan dan anak.

Baca Juga: Tukang Cukur Kembali Ditangkap karena Kasus Narkoba, Edarkan Sabu Pakai Lampu Bohlam

Dengan pembentukan tersebut, akan semakin menguatkan upaya kepolisian, termasuk para personelnya dalam menangani kasus-kasus terhadap perempuan.

Veryanto pun menolak dengan tegas apabila kasus kekerasan terhadap perempuan itu diselesaikan secara mediasi atau restorative justice (RJ).

Padahal, hal itu jelas termaktub dalam UU TPKS yang menyebut bahwa kekerasan seksual tidak boleh diselesaikan dengan menggunakan RJ. (aya/bah)

Lainnya