RADAR MAGELANG – Panitia Khusus (Pansus) Hari Jadi DIJ yang dibentuk DPRD DIJ bersama Tim Pemprov DIJ telah mengadakan rapat kerja (raker) sebanyak empat kali. Namun selama raker digelar belum bisa menemukan petunjuk maupun dokumen penguat deklarasi Hadeging Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat terjadi 13 Maret 1755.
Satu-satunya petunjuk hanya tercantum di Serat Kuntharatama karya Gusti Pangeran Harya (GPH) Buminata yang terbit pada 1958. Serat tersebut tidak secara jelas menuliskan sumbernya. Bahkan Serat Kuntharama tak pernah tersimpan di Perpustakaan Kawedanan Hageng (KHP) Widya Budaya Keraton Jogja.
Menyadari itu, pansus kemudian menggelar public hearing dengan mengundang berbagai elemen masyarakat pada Jumat (15/12). Pansus juga menghadirkan ahli dari Program Studi Bahasa, Sastra dan Budaya Jawa, Fakultas Ilmu Budaya UGM Dr Arsanti Wulandari Mhum.
Dalam paparannya Arsanti menyampaikan materi berjudul “Membaca Babad sebagai Sumber Sejarah”. Dia mengupas beberapa naskah Babad Ngayogyakarta. Terkait Hari Jadi DIJ, Arsanti menyebutkan identik dengan Babad Giyanti. Ada beberapa petunjuk.
Di antaranya, Babad Mentawis yang menyebutkan peristiwa terjadi pada 5 Maret 1755 atau 21 Jumadilawal 1680. Kemudian Babad Giyanti karya Raden Ngabehi Yasadipura dari Keraton Surakarta yang diterbitkan Balai Pustaka. Karya Yasadipura hanya menyebutkan asal usul Ngayogyakarta yang semula bernama Gerjitawati.
“Dari teks Babad Giyanti terlihat peristiwa terjadinya Ngayogyakarta, tapi tidak menyebut secara langsung tanggalnya,” papar Arsanti.
Dia juga menyinggung Serat Kuntharatama. Serat yang dicetak 1958 atau 203 tahun setelah Perjanjian Giyanti itu menjelaskan Lampahan Mangkumi. Perjalanan Pangeran Mangkubumi menjadi Sultan Hamengku Buwono (HB) I dan membangun Keraton Ngayogyakarta.
Peristiwanya terjadi 29 Jumadilawal 1680 atau 14 Maret 1755. Bukan 13 Maret 1755. Saat itu HB I duduk di singgasana di hadapan para putra, sentana dan abdi dalem. “Sultan lenggah siniwaka (duduk di atas takhta, Red),” terang Arsanti. Momen terpenting yang dicatat dari Serat Kuntharatama itu adalah lenggah siniwaka.
Sumber berikutnya Babad Giyanti koleksi Museum Sanabudaya. Ditulis abdi dalem Lurah Prajurit Patangpuluh Raden Panji Himawijaya. Tertulis pembagian negara Jawa terjadi pada 24 Jumadilakir tahun wawu 1681 TJ (Tahun Jawa) atau 26 Maret 1756. “Sunan Sala yang membagi, Sultan Mataram yang memilih,” kutipnya.
Dari berbagai sumber itu, Arsanti menyimpulkan banyak naskah yang mencantumkan waktu berbeda-beda tentang pendirian Ngayogyakarta. Tapi masih berdekatan. “Tidak secara eksplisit mencantumkan berdirinya Ngayogyakarta,” katanya.
Dia mengingatkan pansus agar berhati-hati. Pansus diminta mencermati kembali berbagai data, naskah, dan babad. “Sandingkan dengan sumber-sumber lain dari barat seperti tulisan Belanda sebelum mengambil kesepakatan,” pintanya.
Pentingnya pansus bertindak teliti juga disuarakan Paryanto Sinanding Utomo dari Omah Degleng Megiri (ODM) Wukirsari, Imogiri, Bantul. Paryanto ikut diundang mengikuti public hearing. Dia mewanti-wanti agar penetapan Hari Jadi DIJ tak diputuskan tergesa-gesa. Apalagi hanya bersandarkan kepada kesepakatan politik.
“Lebih penting lagi, jangan hanya bermodalkan konsensus,” tegasnya saat dihubungi kemarin (17/12). Paryanto mengkritisi dipakainya Serat Kuntharatama sebagai rujukan Naskah Akademik (NA) Hari Jadi DIJ.
“Kenapa tidak merujuk Babad Mangkubumi karya Gusti Raden Mas (GRM) Sundara, putra mahkota HB I yang kemudian naik takhta sebagai HB II,” ungkap Paryanto.
Dikatakan Babad Mangkubumi dibuat 1773. Saat itu HB I masih bertakhta sebagai sultan. Babad Mangkubumi menceritakan peristiwa yang sezaman. Penulisnya sebagai putra mahkota jelas berada di lingkaran kekuasaan di masa itu. Babad Mangkubumi tidak pernah menyinggung adanya peristiwa 13 Maret 1755.
“Kalau itu 13 Maret 1755 terjadi peristiwa penting, Sundara pasti tahu karena sebagai putra mahkota selalu berada di dekat ayahandanya,” kata Paryanto.
Babad Mangkubumi menjelaskan peristiwa deklarasi Keraton Ngayogyakarta terjadi pada 1 Sapar 1681 Tahun Jawa atau 6 November 1755. Saat itu, HB I menduduki keratonnya dan menamainya Ngayogyakarta Hadiningrat. “Babad Mangkubumi ini memuat sejarah yang akurat,” tegasnya.
Ketua Pansus Muhammad Yazid mempersilakan tim pemprov dari biro tata pemerintahan, biro hukum dan Paniradya Kaistimewaan berbicara. Namun tak ada satupun perwakilan dari ketiga OPD pemprov yang meresponsnya.
Tanggapan datang dari Tim Penyusun NA Hari Jadi DIJ Baha’uddin. Sejarawan UGM itu menyampaikan hal baru. Dia memberikan tafsir terkait deklarasi 13 Maret 1755. “Sultan lenggah siniwaka di hadapan para putra, sentana dan abdi dalem itu sebagai bentuk deklarasi Hadeging Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat,” terangnya. Tafsir ini sebelumnya tak pernah muncul di NA maupun muncul raker-raker pansus.
Menanggapi dinamika pembahasan Hari Jadi DIJ, Ketua Fraksi PAN DPRD DIJ Arif Setiadi berharap tak terjadi upaya gotak, gatik, gatuk dalam menyepakati hari jadi. Kemudian tidak mencari momen waton luwih tua atau asal lebih tua dari hari jadi kabupaten dan kota se-DIJ. (kus/laz)
Siniwaka Maknanya Bukan Deklarasi Kerajaan
Serat Kuntharatama menulis pada Hari Kamis Pon 29 Jumadilawal Tahun Be 1680 atau 14 Maret 1755, Sultan Hamengku Buwono I hadir di Keraton Ngayogyakarta wilayah Mataram Dusun Beringharjo. Selanjutnya, Sultan lenggah siniwaka di depan para putra, sentana dan abdi dalem semua.
“Siniwaka itu tak bisa dimaknai sebagai deklarasi. Siniwaka itu dari kata sewaka,” ujar Dosen Fakultas Bahasa Seni dan Budaya UNY Dr Purwadi Mhum kemarin (17/12). Pakar budaya Jawa ini mengatakan pasewakan atau pertemuan menghadap raja biasa dilakukan susuhunan maupun sultan di Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Ngayogyakarta. Di Keraton Surakarta, tempat pertemuan menghadap raja berlangsung di Sasana Sewaka. Sedangkan di Keraton Ngayogyakarta bernama Bangsal Kencana.
Ketua Pansus Hari Jadi Muhammad Yazid mengakui tidak semua teks dalam Serat Kuntharatama dipakai. Terutama menyangkut peristiwa HB I siniwaka pada 29 Jumadilawal Tahun Be 1680 bukan terjadi pada 14 Maret 1755. “Setelah kami konversi dan perhitungan teliti dengan bantuan aplikasi, ternyata 29 Jumadilawal Tahun Be 1680 itu jatuhnya bertepatan dengan 13 Maret 1755,” terang Yazid.
Pengelola Omah Degleng Megiri (ODM) Wukirsari, Imogiri, Bantul, Paryanto Sinanding Utomo mempertanyakan keputusan pansus yang secara sepihak mengubah tanggal dari 14 Maret 1755 menjadi 13 Maret 1755. “Peristiwa apalagi dokumen bersejarah tidak bisa diubah begitu saja. Nilai sejarahnya menjadi tidak lagi otentik,” kritik Paryanto yang ikut hadir saat public hearing membahas Raperda Hari Jadi DIJ di gedung dewan.
Diingatkan, bila memakai Serat Kuntharatama sebagai rujukan, seharusnya digunakan secara utuh. Tidak setengah-setengah. Diingatkan, Hari Jadi DIJ bukan hanya bicara masa lalu. Namun juga untuk masa depan DIJ. Ketika perumusannya sejak awal menimbulkan kontroversi, ke depan berpotensi mengundang persoalan.
“Jangan sampai pimpinan dan anggota pansus diingat serta dicatat oleh sejarah mengambil keputusan secara tidak cermat. Bahkan digugat anak cucu di masa datang,” ingatnya. (kus/laz)