Neutron Yogyakarta

Nugroho Susanto, Suka Duka Menjadi Koster GPIB Beth-El Magelang, Bukan soal Materi, tapi Melayani Umat Sepenuh Hati

Nugroho Susanto, Suka Duka Menjadi Koster GPIB Beth-El Magelang, Bukan soal Materi, tapi Melayani Umat Sepenuh Hati

RADAR MAGELANG – Menjalani kehidupan sekaligus melayani umat dengan legawa, tidaklah mudah. Ada banyak hal yang harus dikesampingkan. Bagi Nugroho Susanto, menjadi koster atau pengaja gereja adalah panggilan hati. Dengan begitu, dia bisa melayani umat dengan tulus.

NAILA NIHAYAH, Magelang

Gerakannya lincah memindahkan barang dari satu titik ke titik lain. Kedua tangannya pun sigap mempersiapkan kebutuhan misa. Tahun ini menjadi Natal ke-12 sejak Nugroho Susanto menjadi koster di GPIB Beth-El Magelang. Ia pun terlibat sepenuhnya dalam mempersiapkan Natal.

Sebetulnya, Nugroho bukan jemaat di gereja tersebut. Karena rumahnya di Jogja. Hanya saja, mertua dan istrinya merupakan jemaat di GPIB Beth-El Magelang. “Saya masuk sini (gereja) itu 2011. Awalnya memang bukan jemaat sini, tapi istri di sini. Bapak mertua jadi koster juga. Jadinya saya diminta pendeta untuk menggantikannya,” ujarnya saat ditemui Radar Jogja, Sabtu (23/12).

Pekerjaan Nugroho yang tidak menentu, membuat dia mempertimbangkan tawaran tersebut. Apalagi dia kerap ke luar kota karena tuntutan pekerjaan. Akhirnya, dengan berbagai pertimbangan dan saran dari seorang pendeta, dia menyanggupinya. Menjadi pelayan umat.

Baca Juga: Beri Rasa Aman, Polresta Magelang Sterilisasi Sejumlah Gereja

Saat itu, dia masih pulang-pergi dari Jogja ke Magelang. Selang satu bulan, dia diminta menetap di gereja sekaligus menjadi driver dan koster. Ia juga mengajak serta sang istri tinggal di rumah yang disediakan oleh pengurus gereja. Rumah itu tepat di belakang gereja.

Istrinya pun tidak masalah jika Nugroho menjadi seorang koster di gereja itu. Apalagi sejak empat tahun belakangan, sang istri juga menjadi pelayan di gereja. Khususnya mengajar anak-anak saat hari Minggu.

Nugroho pun mulai menggeluti peran tambahannya dengan senang hati. Namun, banyaknya jemaat dengan karakter yang berbeda-beda, membuatnya harus berlapang dada. Rata-rata jemaat berasal dari suku Ambon, Batak, Manado, dan lainnya.

Bapak tiga anak itu sempat kesulitan menjalin komunikasi dengan dengan para jemaat itu. Selang satu tahun, ia sudah mulai terbiasa dan menyesuaikan keadaan. Para jemaat pun demikian. Kendati begitu, dia bersyukur. Meski menjadi koster dan driver, ia selalu mendapat bimbingan dari Tuhan.

Pria 37 tahun itu kerap mengantar-jemput pendeta dan jemaat gereja. Khususnya para lansia. “Kalau jumlah jemaatnya kurang lebih 300-an. Itu dari berbagai etnis, terutama dari Manado, Batak, dan lainnya. Rata-rata pensiunan sama tentara,” ungkapnya.
Jika ditanya soal alasan menjadi koster, ia dengan lantang akan menjawab, demi pelayanan terhadap umat. Sebab, jika dilihat dari materi, gaji koster tidak serupa dengan para aparatur sipil negara. Tapi, ada sesuatu yang lebih dari materi.

Baca Juga: Pisah Sambut, Kapolres Magelang Kota Diarak Keliling Alun-Alun Naik Tandu

Alih-alih kekurangan, ia justru dicukupkan. Karena melayani umat, tidak bisa dihitung dengan materi. “Selama saya jadi koster di sini, Puji Tuhan tidak pernah sakit. Dicukupkan semua. Kalau masalah dari hati, saya ingin melayani (umat) dan pertimbangan saya bukan karena materi,” katanya.

Selain menjadi koster dan sopir, dia juga diminta mengurusi soal kedukaan. Karena banyak para jemaat di gereja itu yang sudah tidak memiliki keluarga. Mereka ingin Nugroho yang mengurusnya. Termasuk menyiapkan pemakaman. Ia justru senang dimintai pertolongan seperti itu.

Namun pada 2020, ia sempat ingin mengundurkan diri menjadi koster. Lantaran ia kerap mendapat omongan yang tidak mengenakkan dari para jemaat. Tapi, banyak orang yang tidak menginginkan hal itu. Termasuk pendeta. Sang istri pun meminta Nugroho mengurungkan niatnya.

Akhirnya, dia berpikir ulang untuk mengundurkan diri. Ia memantapkan kembali niatnya menjadi seorang pelayan umat. “Kalau ada omongan yang tidak baik, saya doakan saja. Paling tengah malam saya masuk gereja, berdoa untuk mereka (jemaat). Lama-lama, mereka juga baik,” lontarnya.

Baca Juga: Hotel di Magelang Panen Tamu

Sebab, sebagai umat Kristiani, dia diajarkan untuk saling mengasihi. Itulah yang menjadi pegangan bagi dirinya untuk tetap bertahan hingga saat ini. Apalagi, dia semula merupakan seorang muslim. Lalu, pada 1997 ia memutuskan menjadi seorang Kristen. Kendati begitu, keluarga besarnya tetap mendukung keputusan itu.

“Di sini saya benar-bear dipelihara oleh Tuhan. Kalau saya ada masalah, saya berdoa sama Tuhan, Tuhan langsung menyelesaikannya. Kalau materi, sedikitpun (nilainya) bisa dicukupkan, tidak pernah kekurangan. Asal bersyukur,” tambahnya. (laz)

Lainnya

Exit mobile version