RADAR MAGELANG – Pasangan suami dan istri (pasutri) di DIY Veronica Lindayati dan Zealous Siput Lokasari menggugat sejumlah pihak.
Itu lantaran dicap sebagai non pribumi saat mengurus peralihan atas nama dalam sertifikat akta jual beli.
Atas dasar itulah, mereka mengajukan gugatan perdata ke Pengadilan Negeri (PN) Jogja pada 20 Desember 2023 lalu.
Penasihat hukum penggugat Oncan Poerba mengatakan, atas sebutan non pribumi itu lantas prosesnya tidak dilanjutin.
Namun, dia menegaskan, gugatan yang diajukan ini bukan perihal sertifikat atau peralihan hak. “Tetapi menyangkut tentang adanya sebutan non pribumi,” tegasnya, Kamis (28/12/2023).
Oncan menilai, alasan non pribumi itu bertentangan dengan UU Nomor 40 Tahun 2008 Tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis serta UU Nomor 39 Tahun 1999 Tentang HAM dan Pasal 28I Ayat 2 UUD 1945.
Para pihak yang digugat yakni Muhammad Fadhil sebagai tergugat I, Kepala Kantor Pertanahan Kulon Progo tergugat II, Kepala BPN DIY tergugat III, Menteri ATR/BPN tergugat IV, Presiden Indonesia tergugat V, Menko Polhukam tergugat VI, Menkumham tergugat VII, dan Gubernur DIY tergugat VIII. Gugatan ini berkaitan dengan perbuatan melawan hukum.
Oncan menyampaikan, kliennya mengajukan gugatan ganti kerugian materil sebesar Rp 6,3 miliar dan kerugian imateril Rp 1 triliun.
Penyebutan non pribumi juga tidak sesuai dengan Inpres Presiden Indonesia Nomor 26 Tahun 1998.
“Sudah diajukan permohonan ini berulang kali maka tidak ada jalan selain mengajukan gugatan perbuatan melawan hukum supaya terang semuanya,” imbuhnya.
Selain itu, penggugat juga menginginkan adanya permintaan maaf yang dilakukan oleh para tergugat. Permintaan maaf itu dimintanya dilakukan di media massa sebanyak tiga kali.
Penggugat II Siput menyatakan, saat itu yang mengajukan pengurusan yakni istrinya Veronica. Tetapi, malah disebut non pribumi. Awalnya berusaha melakukan pembelaan terhadap Presiden Indonesia.
Namun, itu tidak membuahkan hasil karena tidak diindahkan. Siput menegaskan, diskriminasi semacam ini memunculkan pertanyaan di mana Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika.
“Makanya, kami menggugat di PN Jogja maksudnya agar permasalahan diskriminasi ras etnis ini tidak terjadi oleh siapapun lagi,” katanya.
Kejadian yang dialaminya ini pertama kali terjadi pada 2016 lalu. Upaya pembelaan sudah dilakukan sebelum melakukan gugatan. Tetapi, tidak ada yang membantunya sehingga diajukan gugatan.
Baca Juga: Bawaslu Bantul Lakukan Ribuan Upaya Pencegahan Pelanggaran Pemilu Sepanjang 2023
Siput mengaku, istrinya disebut non pribumi sehingga tidak dilayani dan sertifikatnya dicoret-coret. Oleh karena itu, sertifikatnya tidak laku untuk digunakan lagi.
“Mau dijual tidak bisa, mau diagunkan tidak bisa. Jadi dirusak karena penyebutan non pribumi,” ungkapnya.
Siput mempertanyakan, sebutan non pribumi itu ditunjukan untuk siapa. Padahal, istrinya berstatus sebagai WNI. Sidang perdana dijadwalkan Januari 2024. (rul/amd)