Neutron Yogyakarta

Kearifan Lokal Cuci Tangan di Padasan Gentong

Kearifan Lokal Cuci Tangan di Padasan Gentong
BARANG LAWAS: Penampakan padasan yang sempat eksis pada masanya. Perkakas ini berfungsi sebagai penyimpanan air yang ditempatkan di depan rumah.

RADAR MAGELANG – Masyarakat Jawa, termasuk Gunungkidul, memiliki kearifan lokal cuci tangan di padasan. Bagi yang beragama Islam, padasan berwujud gentong dari bahan tanah liat diisi air juga bisa digunakan untuk wudu.

Seorang warga Gunungkidul Aris Farwanto mengatakan, kebiasaan wudu di padasan elah dilakukan secara turun-temurun. Yakni mensucikan anggota badan tertentu dengan air untuk menghilangkan hadas kecil. “Kebiasaan wudu atau cuci tangan sebelum masuk rumah dilakukan setiap hari,” katanya (5/1).

Padasan yang di dalamnya berisi air untuk membasuh anggota tubuh seperti tangan, kaki, dan wajah sebelum masuk rumah, baginya cukup menyenangkan. Karena saking senangnya, lupa kalau Gunungkidul rawan kriris air. “Sedang asyik-asyiknya main, airnya habis,” ujarnya.

Menurutnya, berwudu jadi kewajiban sebelum menunaikan ibadah salat. Kemudian aktivitas lain seperti bertani, beternak, dan berkebun membuat badan menjadi kotor. Oleh sebab itu, banyak dari pemilik rumah yang kemudian menyediakan padasan di depan rumah masing-masing agar bisa digunakan kapan saja.  “Sumpele ireske sandal spon (penutup lubang padasan pakai irisan sandal jepit,” ucapnya.

Baca Juga: Rektor UIN Sunan Kalijaga Tuturkan Sejarah Tanah Liat

Memilih lokasi strategis, benda bulat oval tersebut biasanya diletakkan di bagian depan atau samping rumah. Sekali lagi, kata Aris, air dalam padasan tidak hanya digunakan untuk cuci tangan dan kaki, tapi sekaligus digunakan untuk bersuci atau wudu. “Hati-hati kalau tidak dicek, lubang padasan bisa ada ulatnya marai gatel (bikin gatal-gatal),” ucapnya.

Maka secara rutin padasan harus dirawat dan dibersihkan. Jangan sampai kotor dan berlumut. Kebersihan sebagian dari iman, begitu Aris kecil ingat tausiah guru ngajinya.  “Beda dengan sekarang, mau wudu, mau cuci tangan, kaki cukup putar keran,”  ungkapnya.

Baca Juga: Alami Tantangan Operasional, Start Up Edutech Zenius Tutup Setelah 20 Tahun Beroperasi

Memori menggunakan padasan bagi Pengawas Satuan Pelayanan Terminal Tipe A Dhaksinarga Wonosari ini cukup banyak dan berkesan. Pihaknya mengaku beruntung bisa menikmati peralihan zaman. “Padasan gentong bentuknya unik, tapi sekarang mulai jarang digunakan masyarakat,” katanya.

Di Kabupaten Kebumen, salah seorang pengguna padasan gentong, Ibnu Mualif, 39, mengatakan, mensucikan diri dengan air sebelum masuk rumah merupakan kebiasaan masyarakat tradisional. Dari hal itu padasan menjadi barang penting.

Bahkan, kata dia, padasan kala itu sebagai barang wajib yang dimiliki setiap rumah. “Hampir setiap rumah ada. Dulu orang habis pergi ke mana gitu, pasti raup (bersih muka) di padasan,” jelasnya (5/1).

Menurut Ibnu, keberadaan padasan sangat relevan dengan corak kehidupan masyarakat tradisional. Di mana mayoritas masyarakat kala itu dominan  berternak atau bercocok tanam. Dari kedua aktivitas itu identik dengan aktivitas kotor. Sehingga perlu padasan sebagai perkakas untuk bersih-bersih badan.

Baca Juga: Hadiri Pembukaan Seni, Rektor UIN Jogja Al Makin Tuturkan Sejarah Tanah Liat Zaman Dewi Venus Hingga Majapahit

“Habis pulang cari rumput, kadang kaki sama tangan kan kotor. Dibersihin ya di padasan,” jelas warga Desa Tresnorejo, Kecamatan Petanahan itu.

Biasanya, kata Ibnu, padasan ditempatkan dekat sumur atau halaman rumah. Hal ini untuk memudahkan masyarakat membasuh bagian badan sebelum masuk rumah. “Biar mudah cari air. Langsung depan pintu. Tapi ya itu, air terbatas. Paling cuma buat raup sama cuci tangan atau kaki,” terangnya

Pengguna lain, Arif Priyantoro menyampaikan, meski memiliki fungsi cukup penting, padasan gentong saat ini mulai ditinggalkan. Bahkan keberadaan perkakas dari tanah liat ini sudah sangat jarang ditemukan. Masyarakat modern kini lebih memilih keran atau wastafel yang terhubung langsung dengan sumber air. “Padahal kearifan lokal ya. Sempat hits juga waktu pandemi,” katanya.

Menurut Arif, air yang keluar dari padasan lebih segar ketimbang air yang diambil langsung dari sumur. Hal ini yang membuat sebagian masyarakat tetap mempertahankan padasan sebagai tempat penyimpanan air. “Prinsipnya sama seperti ceret pakai tanah liat itu lho. Pasti airnya lebih dingin dan segar. Habis raup di padasan pasti fresh,” ujarnya. (gun/fid/laz)

Lainnya

Exit mobile version