JOGJA, Koran Magelang – Kota Jogja memiliki empat kawasan cagar budaya (KCB). Tersebar di KCB Keraton, Kotabaru, Pakualaman, dan KCB Kotagede. Dibutuhkan jalinan kerja sama dan komunikasi untuk mempertahankan KCB.
Tim Ahli Cagar Budaya (TACB) Kota Jogja Yanuarius Benny Kristiawan menyebut, pelestarian KCB merupakan pekerjaan kolektif dan dialogis. Sebab mempertahankan KCB diperlukan adaptasi dari dinamika yang ada di KCB. Setiap perkembangan yang terjadi harus selalu mengikuti aturan yang berlaku.
“Karena setiap KCB memiliki karakteristik khas yang berbeda satu sama lainnya,” jelasnya dalam sosialisasi bentuk arsitektur bangunan (KCB) dan upaya nyata Pemkot Jogja dalam pelestarian warisan budaya dan cagar budaya.
Yanuar menjelaskan, arsitektur bangunan di KCB harus mendapat rekomendasi dari Dinas Kebudayaan (Kundha Kabudayan). Rekomendasi itu merupakan arahan teknis yang diberikan oleh kepada masyarakat. Tujuannya sebagai salah satu upaya pelestarian cagar budaya. Dalam upaya pelestarian, Kundha Kabudayan Kota Jogja juga melakukan rehabilitasi bangunan cagar budaya yang dimiliki masyarakat.
Kepala Bidang Warisan Budaya Kundha Kabudayan Susilo Munandar menambahkan, telah dilakukan beberapa kali kegiatan rehabilitasi bangunan cagar budaya. Rehabilitasi berlangsung sejak tahun 2018 hingga 2021.
“Antara lain di Ndalem Brontokusuman pada 2018 dan 2019, Ndalem Notoyudan pada 2018, pedestrian di Jalan Mondorakan pada 2019, serta Ndalem Notoyudan dan Ndalem Pujowinatan tahun 2021,” sebutnya.
Susilo berharap, masyarakat dapat mengetahui bentuk-bentuk arsitektur bangunan yang ada di KCB. Agar nantinya memiliki pedoman dalam kegiatan pelestarian cagar budaya. Serta mengharap adanya peningkatan peran serta masyarakat dalam perlindungan dan pelestarian cagar budaya.
Sekretaris Daerah Kota Jogja Aman Yuriadijaya mendukung keterlibatan masyarakat dalam pelestarian KCB. Dia pun menegaskan pemkot merupakan media penghubung untuk menyamakan perspektif dan menguatkan kesamaan pandangan kedudukan keistimewaan Jogjakarta, dilihat dari sisi tata ruang. “Oleh karena itu membutuhkan dukungan seluruh pemangku kepentingan untuk memberikan kontribusinya,” ujarnya.
Terpisah, Lurah Jagalan Gono Santoso membeberkan, wilayahnya pun masuk dalam kawasan warisan budaya Kotagede. Ditegaskan, konservasi di Jagalan harus dilakukan. Sebab jika bangunan joglo hilang, maka keunikan dan daya tarik wisata di Jagalan pun musnah.
“Memang untuk renovasi sulit, karena membutuhkan tukang dan material yang khusus. Akhirnya keluarga pemilik dengan gampangnya menjual,” bebernya.
Untuk itu, Gono terus membangun koordinasi dengan berbagai pihak dalam upayanya mempertahankan kekayaan yang ada di Jagalan. Setidaknya, saat ini masih ada puluhan rumah joglo di Jagalan. Namun, bangunan dengan arsitektur indische hanya tersisa dua rumah. “Kami baru berkoordinasi dengan Dinas Kebudayaan DIJ. Alhamdulillah sudah dua rumah yang dibeli,” ungkapnya. (fat/laz/sat)