JOGJA – Distribusi minyak goreng (migor) curah melimpah di pasar. Pedagang kini menjual migor dengan harga Rp 12,5 ribu per liter. Sebelumnya, pemerintah menetapkan harga eceran tertinggi (HET) Rp 14 ribu per liter.
Salah seorang pedagang yang menyatakan migor curah melimpah adalah Willi, 46. pemilik salah satu kios di Pasar Giwangan, Umbulharjo, Kota Jogja. “Penjualan minyak curah lumayan ramai, distribusinya juga lancar,” bebernya pada Radar Jogja Rabu (27/7).
Di warung Willi menumpuk tujuh jeriken migor curah 18 literan. Selain itu berjejer belasan botol air mineral ukuran 1,5 liter yang telah diisi migor curah. “Sehari saya bisa jual 12 jeriken,” ungkapnya.
Willi menjual migor curah dengan harga Rp 12,5 ribu. Besaran itu di bawah HET yang telah ditetapkan pemerintah, yaitu Rp 14 ribu. Dia mengaku pasokan migor curah didapat dari berbagai distributor. “Ambilnya satu jeriken Rp 205 ribu isi 18 liter. Tidak cuma satu distributor. Karena kadang kosong, jadi nanti mencari. Ini curah biasa, jadi murah,” sebutnya.
Terkait dengan penjualan, Willi mengaku tidak menerapkan aplikasi. Lantaran berasumsi, pembelinya adalah warga sekitar. Dengan begitu, jumlah pembelian pun tidak dibatasi. “Pembelian langsung tunai. Bebas bisa beli berapa pun. Enggak usah pakai KTP,” ucapnya.
Terpisah, distributor migor curah Rengga Putra justru menyayangkan perdagangan migor curah yang dilakukan tanpa pengawasan. Dia menerapkan pengawasan ketat, dengan maksud tidak terjadi penimbunan oleh oknum tidak bertanggung jawab. “Pemerintah bisa mengawasi lewat supplier yang jual minyak. Tapi tidak mengawasi gerakan akan rumput. Entah sulingan, selundupan, atau apa. Patut ditandatanyai,” cecarnya.
Kecurigaan Rengga ini berdasar, pedagang berani menjual migor curah Rp 12,5 ribu. Padahal, harga itu merupakan harga distributor. “Banyak yang jual di bawah HET dan boleh banyak. Itu datang dari mana, tahu-tahu ada, yang beredar di masyarakat dengan harga di bawah supplier,” lontarnya dengan nada tanya.
Warga Prenggan, Kotagede, Kota Jogja ini pun menyayangkan, warga yang enggan menggunakan aplikasi dalam pembelian migor. Menurutnya, itu merugikan masyarakat itu sendiri. Lantaran penimbunan minyak jadi tak termonitor. “Karena susahnya, masyarakat sanksi menggunakan KTP. Banyak yang takut nanti foto KTP tersimpan di HP dan disalahgunakan. Enggak. Kalau di aplikasi, data masuk ke sistem dan tidak tersimpan di memori,” ketusnya. (fat/pra)