KEBUMEN – Majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Semarang, memvonis mantan kepala desa (Kades) Sitiadi, Paryudi empat tahun penjara. Paryudi divonis atas kasus tindak pidana korupsi dengan cara melakukan pungutan proses pengurusan administrasi atau pologoro.
Putusan tersebut disampaikan oleh Hakim Ketua Pengadilan Tipikor Semarang, Rohmat dengan hakim anggota, Putu Ngurah Rajendra dan Lujianto. Majelis hakim melalui putusannya dengan nomor 1/Pid.Sus-TPK/2022/PN Semarang menyatakan terdakwa terbukti serasa dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi. “Menjatuhkan pidana kepada terdakwa dengan pidana penjara selama 4 tahun dan denda sebesar Rp 200 juta dengan ketentuan apabila denda tidak dibayar maka diganti dengan pidana kurungan selama 3 bulan,” demikian dikutip dari siaran pers Kejaksaan Negeri Kebumen, Selasa (2/8).
Paryudi didakwa melanggar pasal 12 huruf e Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo UU No 20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi atau Pasal 12B UU Nomor 31 Tahun 1999 Jo UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi.
Kepala Seksi Tindak Pidana Khusus Kejari Kebumen Budi Setyawan menjelaskan, dalam perkara ini terdakwa diduga menyalahgunakan wewenang dengan cara melakukan pologoro terhadap 38 pemohon yang melakukan proses balik nama sertifikat, balik nama dalam buku letter C. Selain itu biaya balik nama SPPT dengan gaya persaksian pada 2019-2021. “Perkara tersebut terkait dengan dugaan tindak pidana korupsi dengan cara melakukan pungutan terhadap pihak-pihak yang melakukan proses pengurusan administrasi terkait tanah,” jelasnya.
Lebih lanjut, dalam perkara ini masa penangkapan dan penahanan yang telah dijalani oleh terdakwa dikurangi seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan. Selain itu terdakwa tetap berada dalam tahanan dan membebankan terdakwa untuk membayar biaya perkara.
Selanjutnya, terdakwa akan dilakukan pelaksanaan putusan atau eksekusi pidana badan di Lembaga Pemasyarakatan Kelas 1A Semarang di Kedungpane. Atas kebutuhan hal tersebut terdakwa melalui penasihat hukum dan jaksa penuntut umum menyatakan pikir-pikir. “Bahwa sampai dengan saat ini masa untuk menyatakan pikir-pikir yaitu telah lebih dari tujuh hari, oleh karena itu atas putusan tersebut telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap,” kata Budi.
Seperti diketahui, pologoro merupakan bentuk pungutan atau setoran dengan nominal tertentu yang diberikan kepada pejabat pemerintah di tingkat desa. Pemberian tersebut bersumber dari masyarakat yang mengurus administrasi pertanahan untuk operasional pemerintahan desa. Besaran yang diberikan pun beragam. Tergantung kesepakatan antara masyarakat dengan pemerintahan desa. Mulai 5-10 persen dari harga jual beli tanah.
Karena dinilai illegal, pologoro akhirnya dilarang. Hal ini ditegaskan dengan hadirnya regulasi yang tertuang pada Perda Nomor 7 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Perda Nomor 8 Tahun 2017 tentang Sumber Pendapatan Desa. (fid/bah)