JOGJA – Meski menyumbang ke pandapatan negara hingga Rp 188,81 triliun setahun, konsumen rokok masih dianak tirikan. Selain tidak dilibatkan dalm penyusunan regulasi, juga dianggap beban negara.
Hal itu menyitir pernyataan Menteri Keuangan Sri Mulyani yang menyebut, Rp 16 triliun anggaran kesehatan di BPJS Kesehatan dihabiskan untuk pengobatan masyarakat karena asap rokok. Padahal kontribusi Rp 188,81 triliun ke pendapatan negara sesuai dengan pertauran menteri keuangan nomor 192/PMK.010/2021 tentang Tarif Cukai Hasiltembakau Berupa Sigaret, Cerutu, Rokok Daun Atau Klobot, dan Tembakau Iris. “Konsumen rokok hanya dilihat sebagai beban negara tapi tidak melihat kontribusinya hingga 10 perssen ke pendapatan negara,” kata Ketua Pakta Konsumen Andi Kartala dalam focus group discussion, ‘Ketimpangan Perlindungan Hak Konsumen dalam Kebijakan Ekosistem Pertembakauan yang diinisiasi oleh Pakta Konsumen, Rabu (10/8).
Andi menambahkan, dengan besarnya kontribusi konsumen rokok selama ini tidak pernah dilibatkan dalam penyusunan regulasi terkait rokok. Justru yang banyak dilibatkan adalah kompok antitembakau. Dia mencontohkan dalam penyusunan regulasi kenaikan cukai rokok, tak pernah konsumen rokok diajak bicara. Begitu pula di daerah, dalam penyusunan peraturan daerah kawasan tanpa rokok. “Hasilnya meski ada kawasan khusus merokok, lokasinya pun tidak nyaman, missal dekat toilet,” keluhnya.
Sekjen Aliansi Masyarakat Tembakau Indonesia (AMTI) Hananto Wibisono menambahkan, dalam satu batang rokok 70 persen di antaranya masuk sebagai pajak ke negara. Dia menyebutkan, mulai dari cukai yang diatur dalam UU nomor 39 Tahun 2007 tentang Cukai dan PMK 192/PMK.010/2021. Kemudian pajak rokok sesuai dengan UU nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah serta PPN 11 persen dari harga banderol berdasarkan UU HPP No. 7/2021. Baru sisanya, sebesar 18 persen untuk biaya produksi, biaya distribusi, upah tenaga kerja dan marjin ritel. Serta delapan persen keuntungan pabrikan. “Ya tidak salah kalau disebut industri rokok itu BUMN swasta,” sindirnya.
Hananto juga membandingkan data terkait prevelensi perokok anak yang sering dijadikan alasan pemerintah. Riset kesehatan dasar (Riskesdas) menunjukkan prevalensi perokok usia 10–18 tahun pada 2013 sebesar 7,2 persen menjadi 9,1 persen pada 2018. Namun, lanjut dia, data BPS menunjukkan bahwa angka prevalensi perokok anak sudah turun dari 2018 sebesar 9,65 persen menjadi 3,69 persem di 2021. Begitu pula prevalensi perokok yang emnurut Riskesdas 2013 jumlah prevalensi perokok dewasa adalah 29,3 persen dan 2018 sudah turun menjadi 28,8 persen. BPS Persentase merokok pada penduduk di atas 15 tahun menurun dari 32.2 persen di 2018 menjadi 28.69 persen di 2020. “Karena itu dalam setiap perumusan kebijakan yang terkait dengan pertembakauan, pemerintah hendaknya melibatkan secara aktif stakeholders yang terkait dalam bidang ini,” pesannya.
Komisioner Lembaga Ombudsman DIJ Agung Sedayu menuturkan, sesuai amanah undang-undang, pemerintah berkewajiban untuk melindungi hak konsumen, serta memberikan akses kepada publik dalam perumusan regulasi sebelum aturan tersebut resmi diterapkan. Namun, pada kenyataannya hak partisipatif publik sering terabaikan. Ketimpangan antara pemenuhan kewajiban dan hak tidak boleh terjadi dalam proses penetapan hukum.”Hak konsumen yang telah berkontribusi lewat penerimaan negara memang belum sepenuhnya terpenuhi. Pelibatan langsung hak konsumen menjadi penting dan mendesak,” katanya. (pra)