Neutron Yogyakarta

BNPB Soroti Keberadaan Pentas Kampung

BNPB Soroti Keberadaan Pentas Kampung

JOGJA – Keberadaan pentas kampung mendapat sorotan dari Balai Pelestarian Nilai Budaya (BPNB) DIJ. Berdasar catatan, mayoritas budayawan pun tinggal di perkampungan.

Kepala BPNB DIJ Dwi Ratna Nurhajarini mengatakan, pentas kampung merupakan kegiatan yang patut diapresiasi. Dia pun membenarkan, nyaris semua pelaku kebudayaan juga berada di kampung.

“Kekayaan (budaya, Red) kampung sangat besar,” ujarnya di sela kegiatan pentas budaya di pelataran Oemah Budaya Larasati, Dusun Semail, Kalurahan Bangunharjo, Kapanewon Sewon, Bantul, Sabtu malam (13/8).

Ratna membeber, lembaganya memiliki pamong budaya, sehingga BPNB DIJ siap memfasilitasi pengembangan potensi budaya di perkampungan. Melalui pamong budaya itu, ia berharap masyarakat bisa memanfaatkannya sebagai pendamping dalam berkesenian. “Jika kekayaan ini diorganisasi dengan baik, jelas ini menjadi potensi yang luar biasa,” lontarnya.

Terpisah, pelaku budaya sekaligus pegiat seni srandul Basiran Basis Hargito justru merasa prihatin. Lantaran kesenian tradisional ini tidak setenar ketoprak, wayang uwong, atau jatilan. Mulai banyak orang tua yang melarang anaknya turut melestarikan Srandul.

Menurut Pak Bas, sapaan akrabnya, mulai menjamur orang-orang yang telah terpapar radikalisme. “Saya ini prihatin, ini ada kesenian yang sudah mendapat predikat di Kampung Bumen, Kalurahan Purbayan, Kemantren Kotagede, Kota Jogja. Kalau kita tidak meregenerasikan, akan punah,” sesal pria 78 tahun ini.

Keprihatinan lain terhadap ancaman kepunahan Srandul juga terletak pada masalah pendanaan. Basis menjelaskan, bagaimana uang sangat berpengaruh dalam pelestarian Srandul. Menurutnya, masyarakat saat ini tumbuh menjadi masyarakat yang materialistis. Padahal, itu justru mematikan kebudayaan.

Pak Bas mengungkap pengalaman pahitnya. Dia pernah dipenjara sebagai tahanan politik selama empat tahun. Hanya karena dirinya aktif melestarikan budaya, dia dituding sebagai ‘orang kiri’ simpatisan Lembaga Kebudajaan Rakyat (Lekra).

Setelah bebas, waktu itu ia juga masih harus terima. Istrinya sudah dikawini teman sendiri. Tapi Pak Bas tidak kapok berkesenian. Hingga akhirnya dia dipertemukan dengan Dinas Kebudayaan Kota Jogja untuk kembali menggali Srandul pada 1980.

“Meski begitu, saya bangga disebut sebagai pegiat seni. Nek dadi seniman, kan ora berkesenian ora mangan (kalau jadi seniman, saat tidak berkesenian tidak bisa makan, Red),” guyonnya.

Berdasar sejarah, Srandul berawal dari kedatangan pengamen yang singgah untuk menumpang tidur di salah satu rumah warga. Keesokan harinya, pengamen itu unjuk diri di halaman rumah warga yang menampungnya bermalam. Oleh sebab itu, kesenian Srandul di Dusun Bumen tumbuh dari masyarakat yang pada awalnya dipentaskan di halaman.

“Srandul aslinya bukan pertunjukan di panggung, tapi di halaman rumah atau lapangan. Dulu belum ada listrik. Untuk penerangan pakai oncor itu, le nari (menarinya, Red) mengelilingi oncor,” jelasnya. (fat/laz)

Lainnya