JOGJA – Peneliti Forum Komunikasi Masyarakat Agraris Kus Sri Antoro menyebut, adanya kemungkinan monopoli hak milik atas tanah di DIJ. Hal itu dilakukan oleh badan hukum swasta tanpa akta pendirian.
Kus menyebut, tanah negara jadi incaran utama, yang meliputi hutan, sepanjang daerah aliran sungai (DAS), sempadan pantai, dan tanah yang belum ada haknya. Kemudian tanah desa yang menurut UU Desa diamanatkan hak milik desa. Lalu tanah hak guna bangunan dan hak pakai yang pemegang hak adalah WNI atau lembaga negara atau lembaga swasta.
“Serta hak milik warga yang terbit dari tanah negara berdasarkan Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA), dengan cara pemegang hak dikondisikan,” ungkap Kus saat dihubungi Radar Jogja Minggu (14/8).
Ia membeberkan, pengkondisian ini dilakukan dengan beberapa tahapan. Pertama, dengan melepaskan hak. Kedua, mengakui tanah yang sudah dilepaskan haknya itu sebagai tanah badan hukum swasta. Ketiga, kepengurusan dilakukan secara kekancingan oleh pengguna tanah atau pemegang hak.
“Tanah enclave adalah tanah negara, bukan wilayah Kasultanan. Bahkan sudah bukan kemungkinan, tetapi sudah terjadi pengambilalihan hak secara terstruktur, sistematis, dan masif (oleh swasta atas tanah warga, Red),” cecarnya.
Ia menarik contoh kasus yang terjadi di Kulonprogo. Tanah hak milik warga diambil alih oleh swasta. Hanya karena klaim, dulu merupakan tanah Kasultanan Jogjakarta dan Kadipaten Pakualaman yang dasarnya adalah peta zaman kolonial. Sehingga tanah yang semestinya menjadi tanah masyarakat atau tanah lembaga negara, jadi batal haknya. “Di DIJ ke depan bisa jadi monopoli hak atas tanah pada satu lembaga dan lembaga ini swasta,” tegasnya.
Kasus serupa hampir dialami oleh Koordinator Masyarakat Pengelola Tanah Tutupan Parangtritis (MPT2P) Suparyanto. Kasultanan Jogjakarta mengklaim tanah tutupan di Kalurahan Parangtritis, Kapanewon Kretek, Bantul, lantaran tanah itu pernah dikuasai oleh Jepang saat menjajah di tahun 1943.
“Tanah itu sebenarnya ada Letter C. Coretan merah itu hanya bubuhan, terus ditulisi Istimewa 1. Dikira milik ingsun (Kasultanan Jogjakarta),” paparnya. Kasultanan Jogjakarta sempat berkeras tanah itu miliknya. “Tidak, wong tahun 1943 belum ada DIJ,” tambahnya.
Hingga kemudian diserahkan ke masyarakat pada 29 Oktober 2021. Kini, para ahli waris dari tanah tutupan telah mematok tanah sebagai bukti kepemilikan. Namun, tanah tutupan telanjur masuk dalam proyek Jalan Jalur Lingkar Selatan (JJLS).
Tanah seluas 15 hektare hendak dicaplok tanpa ganti rugi. “Otoritas sana kukuh tidak mau ganti rugi. Tapi saya protes. Tanah sudah kembali, mosok nggak ganti rugi. Mana ada tanah dipakai oleh negara nggak ada ganti rugi,” ketusnya. (fat/laz)