SLEMAN – Sebanyak 32 rektor dan pimpinan perguruan tinggi negeri dan swasta di Jogjakarta menyampaikan seruan moral tentang pemilihan umum (Pemilu) dan demokrasi. Mereka berharap, pemilu akan berlangsung berkualitas dan demokrasi bermartabat. Seruan ini mereka sampaikan di Balairung Universitas Gadjah Mada (UGM) Sabtu (17/9). “Kita harus bersyukur atas perkembangan baik di usia 77 Bangsa Indonesia, meski banyak PR yang menunggu diselesaikan. Semuanya memang hasil kerja kolektif, dan komulatif para pendiri bangsa, pemimpin, dan rakyatnya,” ungkap Rektor UGM Ova Emilia mewakili membacakan seruan moral itu. Seruan ini terutama dalam mempersiapkan pemilu serentak secara nasional pada 2024 mendatang.
Ada 10 poin yang disampaikan dalam seruan moral ini. Pertama, mengajak semua komponen bangsa untuk menjadikan pemilu sebagai media pendidikan politik. Guna pembangunan moral bangsa yang lebih mengedepankan nilai kejujuran, keteladanan dan keadaban kontestasi dalam sistem demokrasi. Serta menghindari persaingan politik kotor demi kekuasaan semata.
Kedua, menyerukan seluruh kompenen bangsa untuk menjalin pemilu berjalan secara partisipatif, tidak dimonopoli oleh segelintir elit kelompok moligarki yang mengabaikan kepentingan publik. Ketiga, mengajak seluruh komponen bangsa untuk menghindari politik biaya tinggi. Mencegah politik uang dan menolak nepotisme yang kian mendangkalkan makna pemilu.
Keempat, mengajak seluruh komponen bangsa untuk menghindari jebakan penyalahgunaan identitas dengan politisasi agama, etnik dan ras yang berpotensi menimbulkan konflik dan kekerasan. Karena dapat merusak persatuan dan kesatuan bangsa. “Kelima, kami mendesak para elit politik penguasa ekonomi, partai politik dan penyelenggara pemilu untuk memberikan keteladanan. Berintegritas dan bermartabat dalam berdemokrasi sesuai konstitusi,” ungkapnya.
Keenam, mendorong seluruh komponen bangsa menjadi warga merdeka yang tidak mudah terpengaruh hasutan hoaks, dan ujaran kebencian. Ataupun berbagai upaya lain yang menciptakan perpecahan dan pembelahan sosial berdampak buruk pada masyarakat.
Ketujuh, nenuntut parpol untuk menjamin akuntabilitas dalam menjalankan tugas dan fungsinya. Serta memastikan kehadiran parpol di tengah-tengah masyarakat. Delapan, mengajak masyarakat untuk berpartisipasi aktif dan kritis dalam penyelenggaraan bernegara dan bermasyarakat, sebagai bentuk kualitas kewarganegaraan.
Berikutnya, mengajak semua komponen bangsa untuk tidak menggunakan kebebasan demokrasi secara manipulatif. Sebab hal ini justru menciderai hak-hak orang lain, atau melanggar konstitusi.
Terakhir, mengajak seluruh civitas akademika, masyarakat sipil dan media masa. Agar berperan aktif melakukan edukasi publik, guna meningkatkan literasi demokrasi dan kebangsaan. Serta mengawasi jalannya kekuasaan.
Pemilu di mata para pimpinan perguruan tinggi ini merupakan aktualisasi nilai, perjuangan kebangsaan, dan pembangunan konsensus demokrasi yang mulia. “Jika Pemilu berlangsung dengan baik dan berkualitas, maka Indonesia akan menjadi contoh negara besar yang mampu berdemokrasi secara dewasa,” terang Ova.
Wakil Rektor UGM Bidang Kemahasiswaan, Pengabdian kepada Masyarakat, dan Alumni UGM Arie Sujito menambahkan, komitmen ini berangkat dari kerisauan akibat keterbelahan yang terjadi akibat ketegangan politik pada pengalaman pemilu sebelumnya. Hal ini, menurutnya, perlu dicegah sejak awal.“Perguruan tinggi punya tanggung jawab secara moral untuk mendorong kualitas pemilu ke arah yang lebih baik,” ucapnya. (mel/din)