SLEMAN – SDN Gejayan sudah lama menjadi sekolah inklusi. Dalam setiap kelas, terdapat anak berkebutuhan khusus (ABK). Namun, belum ada guru pembimbing khusus (GPK) di sekolah tersebut.
Padahal, dalam Perda Nomor 5 Tahun 2022 tentang Pelaksanaan Penghormatan, Perlindungan, dan Pemenuhan Hak Penyandang Disabilitas telah diatur. Agar menyiapkan GPK di sekolah penyelenggara pendidikan inklusi, sesuai pasal 11 ayat 3 (c).
Kepala Sekolah SDN Gejayan Ratna Puspa Derita menjelaskan, siswa berkebutuhan khusus mendapatkan pembelajaran yang sama dengan siswa lainnya. Guru yang mengajar, juga sama. Padahal, sekolah inklusi memerlukan GPK. Karena penting bagi siswa berkebutuhan khusus untuk bisa berkembang. Selain itu, bisa dilakukan assesment bagi siswa. Sebab indikator penerimaan siswa baru berkebutuhan khusus belum rinci.
Padahal, lanjut Ratna, hal itu sangat penting. Untuk menentukan siswa berkebutuhan khusus memilik sekolah sesuai kebutuhan. Dari aturan yang ada, setiap sekolah wajib menerima berdasarkan asas pemenuhan hak-hak yang sama bagi setiap orang. Namun apabila tidak terpetakan melalui indikator tertentu, justru hal itu merugikan seluruh elemen sekolah, termasuk ABK. “Ada indikator (penerimaan siswa khusus, Red) biar guru kelas bisa mengajar semaksimal mungkin dan anak berkembang,” ungkapnya Selasa (20/9).
Tidak hanya perlu GPK, setiap sekolah inklusi juga harus dilengkapi dengan fasilitas yang memadai. Seperti ruang bimbingan inklusi dan toilet duduk. “Kemarin waktu rehabilitasi dari dinas bersyukur sekali dibuatkan closet duduk untuk anak tuna daksa,” ujar Ratna.
Ratna pun optimis, fasilitas sekolah bakal diperhatikan da terus dibenahi. Untuk mendukung kegiatan belajar siswa berkebutuhan khusus.
Wahyuni, seorang guru pun menyebut, GPK menjadi kebutuhan pokok sekolan inklusi. Dan dia berharap, hal itu dapat terpenuhi. “Guru butuh teman untuk konsultasi. Karena yang kita hadapi setiap hari ABK. Kalau ada GPK, kita sharing kepada yang lebih tahu dan bisa menangani,” bebernya.
Selama ini, guru reguler di sekolah inklusi harus belajar autodidak. Terkait pendidikan luar biasa (PLB). Meskipun diakuinya, hasilnya tidak bisa maksimal. “Ada makul (saat kuliah, Red) PLB tapi nggak detail, berbeda dari jurusan PLB langsung. Akhirnya dari pengalaman setiap hari saja, kan hafal lama-lama,” ujarnya. (lan/eno)